Selasa, 01 Juni 2010

Rekontruksi Salako

Yohanes Supriyadi
Pendahuluan
Kalimantan Barat merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang dihuni oleh ratusan kelompok etnik. Dayak adalah salah satu kelompok etnik yang memiliki keragaman anak suku yang sangat sempurna. Selain Dayak dengan berbagai varian anak sukunya, ada 3 kelompok etnik lain yang populasinya signifikan; Melayu, Cina dan Madura. Sejak masa kolonial, seluruh kelompok etnik telah terlibat dalam persaingan tajam untuk merebut dominasi ekonomi, politik, dan sosio-kultural. Hubungan mereka sejak awal cenderung konfliktual. Kehadiran negara moderen –mulai dari Belanda, Jepang, hingga Indonesia— secara langsung atau tidak, cenderung membiarkan bahkan memanfaatkan hubungan yang konfliktual ini.




Ada 3 insiden kekerasan etnik yang terjadi dan terbesar di Kalbar. Pertama, beberapa sub-etnik Dayak melakukan ”pengusiran” terhadap sekelompok Cina yang tinggal di pedalaman, di sekitar perbatasan dengan Malaysia, yakni di wilayah Sambas, Bengkayang, Landak, dan Sanggau. Insiden itu hanya terjadi satu kali, berlangsung sekitar 2 bulan, dari Oktober hingga November 1967, satu titik waktu dimana rezim Orde Lama beralih ke Orde Baru. Kedua, beberapa sub-etnik Dayak melakukan pengusiran terhadap sekelompok Madura yang tinggal di Bengkayang, Landak, dan Sanggau. Insiden itu hanya terjadi satu kali, berlangsung sekitar 2 bulan, dari Januari hingga Februari 1997, satu titik waktu dimana rezim Orde Baru segera akan berakhir. Dan ketiga, satu sub-etnik Melayu melakukan pengusiran terhadap sekelompok Madura yang tinggal di Sambas. Sebagaimana sebelumnya, insiden ini hanya terjadi satu kali, berlangsung sekitar 2 bulan, dari Februari hingga Maret 1999, satu titik waktu dimana Orde Reformasi baru mulai berdiri.

Dalam kacamata Dayak, istilah pengusiran ini merupakan bagian dari hukuman sosial. Kalaupun ada pembunuhan, hanya ketika penduduk yang diusir menyatakan dan melakukan perlawanan (Yohanes;2005).

Patut diketahui, lokasi 3 insiden kekerasan etnik tersebut diatas, semuanya termasuk wilayah (ancestral domain), yang mayoritas penduduknya berasal dari sebuah anak suku dari kelompok Dayak, Kanayatn dan Salako. Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan bagaimana asal-usul kelompok etnik ini ? siapakah Orang Kanayatn ini ? dan mengapa ”teritori” orang Kanayatn dan juga Salako menjadi basis utama konflik kekerasan etnik di Kalbar ?

Sejarah Asal-usul dan Dinamika Antar Kelompok Etnik
Banyak ahli mengatakan bahwa Dayak adalah penduduk asli Kalimantan atau Borneo. Istilah Daya (tanpa huruf k) sendiri baru dikenal tahun 1895, yang ditulis oleh ilmuwan Belanda, Dr. August Kaderland dalam laporannya tentang ”Manusia di Borneo”. 50 tahun kemudian, seorang antropolog Indonesia, Lahadjir, mengatakan bahwa penduduk asli di Kalimantan sendiri jauh sebelumnya, belum mengenal istilah itu (Dayak) pada umumnya. Akan tetapi orang-orang diluar lingkup merekalah yang menyebut mereka sebagai “ Dayak ‘ (Lahajir, 1993). Sembilan puluh tujuh (97) tahun setelah penemuan istilah Daya, barulah, dalam sebuah seminar nasional yang dihadiri oleh wakil-wakil orang Daya seluruh Kalimantan (Barat, Tengah, Selatan, Timur, Sabah dan Sarawak) tahun 1992, kata “Daya” disepakati untuk diseragamkan menjadi “Dayak”. Sebuah identitas baru, hasil rumusan abad 21.

Beberapa peneliti (Coomans, Kinnon, Sellato, Rousseau, Lahadjir, Takdir, Atok, Nieuwenhuis) pernah merekonstruksi asal usul mereka yang menamakan dirinya Dayak ini. Menurut Coomans, kelompok imigran yang pertama kali ada di Kalimantan adalah kelompok ras Negroid dan Weddoid (Coomans,1987). Orang Negrito dan Weddoid telah ada sejak 8000 SM. Mereka tinggal didalam gua dan mata pencaharian mereka berburu binatang. Kelompok ini masih menggunakan batu sebagai alat berburu dan meramu. Kelompok ini sekarang telah lenyap sama sekali (Wojowasito, 1957).

Selanjutnya adalah kelompok imigran kedua adalah Proto Melayu (Melayu Tua) yang datang sekitar tahun 3000-1500 SM. Menurut Asmah Haji Omar (http://www.amazon.co.uk), peradaban mereka ini lebih baik dari Negrito, mereka telah pandai membuat alat bercocok tanam, membuat barang pecah belah dan alat perhiasan. Gorys Keraf, dalam bukunya Linguistik bandingan historis (1984) mengatakan bahwa, kelompok imigran kedua ini telah mengenal logam, sehingga alat perburuan dan pertanian sudah menggunakan besi. Mereka hidup dipantai dan menyebar hingga kepedalaman. Kedatangan migrasi kedua (2) ini, dalam prakteknya telah memaksa Orang Negrito untuk pindah kepedalaman dan berpindah-pindah. Berbeda dengan Orang Negrito, bangsa yang dikenal sebagai Deutro Melayu ini hidup berkelompok dan tinggal menetap disuatu pemukiman. Mereka yang tinggal dipesisir pantai hidup sebagai nelayan dan membuka pemukiman yang berdekatan dengan sungai dan muara-muara sungai. Mereka sudah pandai memilih ketua pemerintahan dan agama. Mereka menganut animisme.

Kelompok imigran terakhir adalah kelompok yang masuk sekitar tahun 500 SM (Coomans,1987),yaitu ras Mongoloid (Coomans,1987; sellato,1989; Rousseau1990). Ras ini berasal dari Propinsi Yunan, Cina Bagian Selatan. Kehidupan mereka berpindah-pindah. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penduduk Kalimantan sekarang merupakan hasil perkawinan silang antara Bangsa Negrito, Weddoid, Mongoloid dan Austronesia (Yohanes;2007;1a).

Kontak dengan pedagang asing dan kedatangan migran yang menetap ini, mendorong orang Salako yang tinggal di pesisir pantai beralih agama menjadi Islam sehingga mengembangkan kebudayaannya sendiri yang lebih berkembang dengan berpusat di kesultanan yang dibentuk dimuara-muara sungai (Yohanes.S;2003).

Kedatangan muslim Cina yang dibawa Laksamana Cheng Ho pada tahun 1463 menyebabkan pembauran dan masuknya Islam dipesisir Kalimantan Barat. Sejak itu, gelombang migrasi dari Cina memasuki KalimantanBarat. Tahun 1745, misalnya 20 orang Cina didatangkan dari Brunei untuk bekerja pada pertambangan emas milik Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah. Keberhasilan pertambangan emas, menyebabkan Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah terus mendatangkan Orang Cina, hingga pada tahun 1770 orang Cina sudah mencapai 20.000 orang. Gelombang terakhir terjadi tahun 1921-1929, ketika di Tiongkok (Cina) terjadi perang saudara. Mereka datang melalui Semenanjung Malaya, Serawak dan pesisir utara Kalimantan Barat.

Konfigurasi dan Streoptif Antar Etnik
Sebelum dan selama masa kolonial Belanda, Sambas dan Pontianak merupakan daerah yang terdiri dari banyak kesultanan. Kendati saling bersaing, semua sultan adalah Melayu dan memperoleh dukungan dari pemerintah kolonial Belanda & Jepang. Orang Salako adalah rakyat yang menjadi subyek kekuasaan kesultanan ini.

Awalnya jumlah penduduk diwilayah ”kesultanan” masih sangat sedikit, namun seiring dengan semakin banyaknya Orang Salako yang berkonversi menjadi Islam diwilayah kesultanan, disamping migrasi orang Islam dari daerah lain dan melakukan perkawinan silang, jumlah mereka menjadi bertambah. Mereka inilah yang kemudian menamakan dirinya sebagai ”Melayu” (Iqbal;2004;14).

Mengimbangi islamisasi ini, pemerintah kolonial memberi kesempatan para misionaris Katolik untuk masuk dan mendirikan sekolah-sekolah di wilayah Orang Salako (Raba, Salako/Selakau, Sabiris/Capkala, Nyarumkop dan dibeberapa tempat lainnya), dan kulminasinya pada paruh kedua abad 21, Orang Salako makin banyak yang justru beralih menjadi Katolik dan Protestan. Berbeda dengan koversi agama sebelumnya, dengan menjadi Kristen, mereka tetap tidak kehilangan identitas etnik awalnya (Moh. Iqbal;2004;16). Meskipun demikian, mayoritas Orang Salako masih tetap tinggal di pedalaman dan Melayu tetap tinggal di sekitar pesisir.

Konfigurasi sosial semacam itu terus bertahan hingga sekarang ini.

Pemerintah Belanda & misionaris juga memberikan kesempatan pendidikan yang besar, dan secara sadar atau tidak, ikut membentuk identitas etnik kepada Orang Salako. Tragedi pembunuhan massal oleh Jepang di Mandor membuat Melayu kehilangan banyak sumberdaya manusia yang berkualitas. Dan karena sikap yang cenderung pro Belanda pada masa awal kemerdekaan, membuat Melayu pada akhirnya kehilangan peluang untuk menguasai birokrasi pemerintahan pada masa Orde Lama. Sejumlah elit Dayak, yang mayoritas asal Hulu Kapuas dan merupakan alumni dari persekolahan Katolik Nyarumkop berhasil memanfaatkan situasi ini. Mereka mengkonsolidasi kekuatan politiknya dengan mendirikan partai politik, dan pada pemilu 1955 dan pemilu 1958, kelompok ini menang. Hal ini kemudian mengantarkan JC.Oevaang Oeray, tokoh Dayak asal Hulu Kapuas menjadi Gubernur Kalimantan Barat dan berhasil menempatkan dirinya sebagai refresentasi kelompok etnik yang berkuasa selama delapan (8) tahun.

Seiring dengan pergantian rezim dan perubahan politik luar-negeri Indonesia, pemerintah Jakarta mulai membatasi aktivitas elit Dayak dalam politik dan pemerintahan, dan menggantikannya dengan pejabat militer yang berasal dari Jawa dari 1966-2002. Elit Dayak berusaha mengadakan koptasi, namun gagal. Meski sebelumnya, Cina juga berupa melakukan koptasi, namun usaha itu gagal melalui peristiwa “demonstrasi”. Akibatnya, justru terbalik, puluhan ribu orang Cina harus rela “keluar” dan mengkonsentrasikan diri di kawasan pesisir, yang sebelumnya menjadi teritori “Melayu”.

Belajar dari sejarah, secara perlahan Melayu berhasil kembali menguasai birokrasi tingkat menengah ke bawah. Penguasaan ini berlangsung selama Orde Baru (32 tahun).

Berbeda dengan Melayu, selama Orde Baru, Orang Salako tetap “merasa tertindas”. Mitologi yang ada berupaya dieksplorasi, direkatkan dan sehingga menjadi doktrin politik. “Melayu penindas, penjajah dayak”. Streotipe negative ini terus berlangsung, kadang berdasarkan cerita tetua-tetua, menembus ruang dan waktu.

Berikut ini, bagian dari mitologi yang kemudian menjadi streotipe negative Dayak kepada Melayu, khususnya di wilayah-wilayah di Kabupaten Pontianak (sekarang ditambah Kabupaten Landak dan Kubu Raya) hingga hari ini.
“…..di Kampung Jarikng (bhs melayu; jering), daerah Menyuke, hidup seorang sakti dari Bukit Bawakng yang mengembara. Ia merupakan anak Ngatapm Barangan (Bukit Bawakng) dengan Bujakng Nyangko (Bukit Samabue). Namanya Ria Sinir. Setelah menikahi Dara Irakng (bhs.melayu: dara hitam), mereka dikarunia dua orang anak laki-laki yang kembar. Namanya Lutih dan Kari. Dua puluh tujuh tahun kemudian (setelah dewasa), oleh Ria Sinir kedua anak ini diikat dalam suatu sumpah adat. Dua buah batu diberikan kepada Lutih dan Kari. Satu batu untuk ditanam didarat dan satunya dibuang kesungai sebagai batas wilayah. Isi sumpah adat itu adalah (1) Hidup harus tolong menolong, (2) Hidup mempertahankan keamanan rakyat dan desa (3) Tidak boleh hidup tipu-menipu (4) Harus jujur dan adil dan (5) Harus setali sedarah. Satu batu sebagai symbol sumpah adat, telah berhasil ditanam di halaman rumah panjang, di Kampung Jarikng. (lihat foto). Penanaman batu ini disaksikan seluruh warga. Untuk membuang batu yang satunya lagi, diutus 2 orang saksi yang bernama Rotos dan Rangga. Berempat mereka menaiki sampan,mencari tempat batas daerah. Mula-mula batu tanda batas ini hendak dibuangkan di lubuk balamakng (bhs.melayu; belambang).Waktu mau membuangkannya ,timbul curiga dalam hati Kari: ”Kalau-kalau nanti Daya Laut “ngambang”.(akan hidup curiga-mencurigai antara kedua suku ). Mereka milir lagi sampai ke sungai Kodak. Namun sungai ini tidak memuaskna mereka (nanti akan timbul ancam-mengancam antara kedua suku ini). Mereka milir lagi, tibalah kesungai Sengaras. Inipun masih mengkuatirkan mereka. Takut-takut kalau kedua suku ini akan berkeras-kerasan. Mereka berhenti dan berunding lagi. Mereka memutuskan untuk milir lagi ke sungai Melano. Inipun juga masih menimbulkan persangkaan yang belum puas, masih curiga kalau-kalau nanti kedua suku ini akan belato (panggil-memanggil dan kacau). Mereka milir lagi kesungai Suwal, Hampir saja batu ini dibuang, namun masih ragu-ragu kalau kedua turunan itu akan berjual beli dan terdapat tipu-menipu seorang dengan seorang. Mereka memutuskan untuk milir lagi,sampailah ke sungai lubuk riapm pauh. Rupanya masih juga disangsikan keduanya, nanti kedua generasi mendatangi itu hidup berjauh-jauhan. Sebenarnya telah bosan mereka mencari tempat untuk membuangnya. Mereka milir lagi, mencoba mendapat tempat yang benar-benar memuaskan hatinya berdua. Tibalah mereka ke sungai penolos.Tempat ini lebih mencurikan hati pikiran mereka.Kalau-kalau kedua turunannya akan hidup hina-menghina. Milir lagi dan tibalah mereka kelubuk sepat. Sepat artinya sipat, artinya ini sangat baik untuk tempat berpisah.Tepat sekali untuk maksud mereka. Suatu kata yang tidak mengandung bahaya sama sekali.Milir yang kesembilan inilah yang telah menjadi garis demarkasi perpisahan kedua kakak beradik. Batu saksi dibuang kedasar sungai. Mengulangi penanaman batu sebelumnya didaratan, maka membuang batu kedua inipun harus melalui upacara sumpah.Ucapan sumpah yang harus diucapkan oleh kedua kakak beradik dengan sungguh-sungguh jujur. Sumpah ini adalah sumpah ulangan ,yang telah diucapkan dikampung Jering. Spontan Kari, sang adik mengucapkan sebagai berikut: “Daya Salah Daya Mati, Laut Salah Daya Mati”. Bersamaan dengan itu, batupun dibuang kedalam sungai. Segera Lutih dan kedua saksi menegur Kari, memohon agar ia mengulangi ucapan sumpahnya,yang salah dan tak jujur itu. Kari mau mengulanginya.Tapi sukar juga mengambil kembali batu janji yang telah berkerajaan kedasar sungai yang sangat dalam itu. Lutih dan kedua saksi kecewa, sedangkan Kari, dikemudian hari mengembangkan kerajaan yang berpusat di Ngabang, Kerajaan Landak.

Mitos-mitos diatas, hingga hari ini masih dipercayai oleh Orang Salako dan dikemas sedemikian rupa untuk saling bersaing, dan mempengaruhi pola relasi kedua suku.

Masa Orde Baru adalah masa kontemplasi dan konsolidasi bagi elit Dayak. Dalam masa panjang itu, mereka berusaha semakin menguatkan identitas etnik mereka dengan mengontraskan perbedaan antara Dayak dengan Melayu. Mereka mengidetifikasi dirinya sebagai Kristen, penduduk asli, mayoritas, namun dijajah oleh Melayu yang mereka anggap sebagai Islam, pendatang dan minoritas. Mereka mendirikan berbagai organisasi sosial-politik yang berusaha memberdayakan kelompok etniknya.

Para elit Dayak juga rupanya belajar dari keberhasilan Partai Persatuan Daya (PD) dengan mendudukan Oevaang Oeray menjadi Gubernur pertama Dayak di Kalimantan Barat pada tanggal 1 Januari 1960. Para elit Dayak telah mampu membaca peluang untuk terlibat aktif di bidang politik. Pada masa inilah, “kebutuhan” untuk menyatukan orang Dayak dalam satu wadah dipandang sangat mendesak. Dan peluang yang besar untuk menyatukan Dayak ada di Golkar. Konsekuensinya harus ada ikatan pemersatu. Istilah 'Kanayatn' atau 'Kendayan' kemudian dimanfaatkan para elit Golkar-Dayak sebagai sarana pemersatu sub-suku Dayak di Kabupaten Pontianak dan Sambas.

Melayu awalnya tidak mempedulikan gerakan politik ini.

Namun setelah kekerasan etnik Dayak versus Madura pada 1997 berakhir yang kemudian membuat Dayak semakin asertif dan konfiden dalam memperjuangkan kepentingannya, bukan hanya dalam politik, melainkan juga sosio-kultural (Moh.Iqbal;2004;19). Mereka memaksa kelompok etnik lainnya untuk menundukan diri kepada hukum adat. Melayu kemudian bereaksi. Mereka yang berasal dari kelompok etnik terakhir ini memberikan tanggapan dengan menegaskan bahwa mereka juga merupakan penduduk asli, mayoritas dan juga mengembangkan konsepsi bahwa Dayak dan Melayu adalah saudara, dan bahwa menjadi Islam tidak berarti Dayak kehilangan identitasnya. Lebih jauh Melayu juga mengembangkan berbagai organisasi etnik Kemelayuan dan hukum adat Melayu dengan mendirikan Majelis Adat Budaya Melayu. Dalam konteks persaingan yang ketat dan penuh friksi inilah kemudian terjadi kekerasan etnik Paritsetia pada 1999 yang melibatkan Melayu versus Madura. Sebagaimana Dayak, sesudah insiden kekerasan itu, giliran Melayu menjadi lebih asertif dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Mereka seakan tidak takut lagi untuk berperang secara frontal dengan Dayak. Setelah kalah dalam pemilihan bupati di beberapa kabupaten, mereka akhirnya berhasil menambah jumlah orang Melayu sebagai bupati sedemikian sehingga jumlah mereka relatif seimbang. Dalam era kebijakan Otonomi Daerah, puncaknya mereka berhasil menguasai jabatan gubernur pada akhir 2002.

Rekonstruksi Identitas
Tidak seperti mitos yang berkembang, Kalbar bukan merupakan suatu wilayah yang makmur. Sumberdaya alamnya tidak terlalu bervariasi, dan tanahnya kurang subur. Pada abad 16-19, wilayah ini lebih banyak mengandalkan pada emas dan intan, pada paruh pertama abad 20, pada kopra, karet dan lada, selanjutnya hingga sekarang ini pada kayu, jeruk dan kelapa sawit. Gadowar Singh Sahota (1968) dalam penelitiannya menemukan faktor penghambat dalam keputusan bermigrasi adalah pendapatan yang hilang di daerah asal dan biaya akomodasi (penginapan) di daerah baru. Makanya orang lebih mudah pergi ke suatu tempat jika disana ada kerabat atau keluarga yang dapat menerima mereka untuk sementara sampai memperoleh pekerjaan, karena keluarga paling tidak dapat menyediakan tempat menginap dan lebih-lebih lagi jika dapat memperoleh makan. Faktor-faktor di tempat asal migran misalnya dapat berbentuk faktor yang mendorong untuk keluar atau menahan untuk tetap dan tidak berpindah. Di daerah tempat tujuan migran faktor tersebut dapat berbentuk penarik sehingga orang mau datang kesana atau menolak yang menyebabkan orang tidak tertarik untuk datang. Tanah yang tidak subur, penghasilan yang rendah di daerah tempat asal migran merupakan pendorong untuk pindah. Namun rasa kekeluargaan yang erat, lingkungan sosial yang kompak merupakan faktor yang menahan agar tidak pindah. Upah yang tinggi, kesempatan kerja yang menarik di daerah tempat tujuan migran merupakan faktor penarik untuk datang kesana namun ketidakpastian, resiko yang mungkin dihadapi, pemilikan lahan yang tidak pasti dan sebagainya merupakan faktor penghambat untuk pindah ke tempat tujuan migran tersebut. Jarak yang jauh, informasi yang tidak jelas, transportasi yang tidak lancar, birokrasi yang tidak baik merupakan contoh intervening faktor yang menghambat. Di pihak lain adanya informasi tentang kemudahan, seperti kemudahan angkutan dan sebagainya merupakan intervening faktor yang mendorong migrasi.

Sjaastad (1962) dan Bodenhofer (1967) mendekati migrasi lewat teori human investment. Mereka menyatakan bahwa migrasi adalah suatu investasi sumberdaya manusia yang menyangkut keuntungan dan biaya-biaya . Biaya-biaya bermigrasi tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut : Risiko, Pendapatan yang hilang (earning forgone), Ketidak nyamanan karena meninggalkan kampung halaman (disutility of moving),Ketidak nyamanan dalam perjalanan, Ketidak nyamanan di lingkungan baru dan Psychic costs (biaya psikhis) karena berbagai ketidak nyamanan tersebut. Sedangkan benefit yang diperoleh adalah pendapatan yang lebih baik yang diperoleh di daerah baru nantinya. Todaro (1976) menyatakan bahwa pendapatan tersebut dalam bentuk expected income (pendapatan yang diharapkan).

Dari teori……..pola migrasi kelompok ini kira-kira sebagai berikut:
“…setelah beberapa lama tinggal di Sarinakng dan Pulo Nangka, beberapa orang dari mereka berusaha lagi pindah mencari daerah baru. Perpindahan ini disebabkan oleh beberapa hal, kemauannya sendiri, lokasi ladang, dan konflik dalam komunitas. Menurut Nek Uyan, satu-satunya Orang Salako yang tersisa di Sarinakng saat ini, ada kelompok yang pindah ke Pemangkat, yang dipimpin Nek Mangkat. Keturunan kelompok ini selanjutnya ada yang pindah dengan menelusuri sungai Sebangkau hingga ke daerah yang disebut Palanyo (dalam bhs. Melayu: Pelanjau). Mereka mendirikan bantang di sini”.
Akhir Juli 2008 lalu saya berkesempatan untuk mengunjungi salah satu kampung Salako ini. Namanya Kampung Baron, Desa Twi Mentibar, Kecamatan Selakau Kabupaten Sambas. Jaraknya hanya 6 Km dari pasar Selakau, dapat dilalui dengan jalan darat maupun sungai. Saya masih menemukan 15 keluarga dikampung ini, namun hanya 1 orang yang masih asli keturunan Salako, sisanya percampuran Salako-Cina. Namanya Nek Sujah, usianya sudah 80 tahun. Ia tinggal dengan anak tertuanya. Suaminya sudah meninggal 10 tahun lalu. Dengan bahasa Salako, ia bertutur:
”berdasarkan cerita nenek saya, dulu ada beberapa kelompok pindah dari kampong ini dengan menelusuri hulu sungai Selakau. Ada yang menelusuri sungai Sangkang dan naik di Nek Date’, Potekng, Pajintatn, Sango, Pakunam, Samarek, Pasi dan seterusnya. Namun ada juga yang naik di Bariakak dan terus ke Sahawa’, Bagak, Sanorekng, Ranto, Sakong dan sebagainya. Selanjutnya, ada yang terus mudik dan naik di Timawakng Abo’ dan pindah ke Puaje. Namun ada satu kelompok kecil yang terus menelusuri hulu sungai Selakau yang akhirnya menetap di Bukit Bawakng (gunung Bawang). Dari Bukit Bawakng, mereka pindah ke Lao, daerah Serukam sekarang. Dari Lao, mereka menyebar ke daerah Sawak, Gajekng, Gado’, Pakana dan sekitarnya. Inilah nenek moyang Orang Salako yang menurunkan mereka yang berbahasa ba ahe dan ba nana’. Selanjutnya terjadi penyebaran ke berbagai wilayah di kabupaten Pontianak dan Landak dengan berbagai macam isolek (dialek dalam bahasa serumpun) saat ini. Gelombang migrasi orang-orang Salako dari Sarinakng ini terus berlanjut hingga akhirnya bantang Bukit Sarinakng itu menjadi kosong, dan menjadi Timawakng (tembawang)”

Pembauran ras melahirkan beberapa cirri yang membedakan Orang Salako dengan kelompok etnik Dayak dihulu Kapuas. Misalnya, bakayo (mengayau, memburu kepala manusia), tinggal di bantang, tangkitn (kelompok Dayak dihulu Kapuas menggunakan Mandau) sebagai alat perang, dan sebagainya. Warisan Weddoide yang masih bertahan hingga hari ini adalah menjadikan hewan anjing sebagai hewan sembelih dan kurban pada jubata (dewa). Ini terjadi karena pada waktu itu banyak anjing hutan yang liar yang hidup di daerah ini. Binatang ini menjadi hewan buruan yang mudah bagi kaum Weddoide yang masih memiliki peralatan dari batu. Warisan Weddoide lainnya yaitu pada umumnya lokasi pemukiman Orang Salako ini selalu di atas. Pada umumnya dibatasi oleh sungai, bukit atau rimba. Ciri lain yang masih tampak pada Orang Salako yang masih dapat dijumpai hari ini, antara lain: (1) Gemar makan ikan yang dibusukkan (jaruk dan bonto’), (2) Mempunyai adat memotong kepala (bakayo) seperti bangsa kuki, Naga dan Gar di pegunungan Assam, (3) Suka melapis gigi dengan emas (angkero/sunggi’), (4) Tinggal dirumah barak yang terdiri berbagai keluarga (rentetn/bantang), (5) Rumah-rumah didirikan diatas tiang, bukan karena tanahnya becek, (6) Pelubangan daun telinga yang terlalu besar(jarang dilakukan oleh kaum pria. Namun secara umum oleh kaum wanita saja). Lubang lebar itu sebagai akibat dari beban buah anting-anting yang berat serta lamanya beban itu pada daun telinga. (7) Suami termasuk dalam keluarga istri (dalam masyarakat Kanayatn antara saudara dan kerabat pihak istri dan suami menggunakan kata sapaan isatn/ ise’, dan antara orang tua serta kerabat dari kedua belah pihak menggunakan kata sapaan imat). (8) Menyapa suami dan istri dengan nama anaknya yang tertua (parapaatn). (9) dalam menghitung menggunakan kata bilangan bantu seperti ekor, orang, belah dan sebagainya. Selain ciri-ciri tersebut di atas, ciri lain yang merupakan kebiasaan Orang Kanayatn jaman dulu sebagai warisan budaya dari nenek moyangnya bangsa Autronesia adalah mengkremasikan jenasah orang yang sudah meninggal, yakni dengan membakarnya (King (1993). Lahan atau tempat pembakaran jenasah itu disebut patunuan. Walaupun sekarang ini jenasah tidak dikremasi lagi, tempat mengubur jenasah (kuburan) tetap disebut patunuan, bukan pasuburatn (pekuburan). Dan (10), menjadikan Bukit Bawakng sebagai sentral religi. Hampir seluruh mitos dan kepercayaan, bersumber dari bukit ini. Hingga hari ini, disekeliling Bukit Bawakng masih dijumpai perkampungan Orang Kanayatn, yang berbahasa Bakati’.

Orang Salako adalah orang alam. Mereka hidup ditengah-tengah alam, sebagai tempat belajar dan menempa kehidupan. Mereka sering membuat percobaan-percobaan. Percobaan terbaik dimasukan dalam ADAT. Adat jangan dilanggar, karena terlalu berresiko bagi kehidupan selanjutnya.

Pokok-pokok Adat
Ada 5 pokok adat (adat yang utama), yaitu (1) Penekng Unyit Mata Baras. Asalnya dari Ne Unte’ Pamuka’ Kalimantatn, Ne Bancina dari Tanjung Bunga, Ne Sali dari Sabakal, Ne Onton dari Babao, Ne Sarukng dari Sampuro.(2) Baras Banyu Banyang. Asalnya dari Ne Pangingu dan Ne Pangorok (3) Baras Ijo. Asalnya dari Bujakng Nyangko dari Bukit Samabue dan Kamang Muda’ dari Santulangan serta Ngatapm Barangan Raja Jajawe (4) Baras Sasah. Asalnya dari Gira’ Giro Sisi Langit, Beta’ Beto Tampus Tanah dan Raja Naga Pusat Ai’ dan (5) Langir Binyak. Asalnya dari Ne Bunga Putih Oncok Bawakng, Ne Nyala’ Raja Pajaji, Ne Lopo Panungkakng Bawakng, Ne Sudu’ Nu’ Alang Ngalulu’ Balah, Ne Dayakng Nu’ Dandang Bagago’ Jiba Sumangat, Ne Bayu Rinsamang harta muda dunia.



Theogoni
Mereka juga mengenal ilmu theogoni (lihat Pater Yerimias, OFM.Cap;1997;3). Ada 4 yang utama, yaitu

(1) Nek Panitah.
Nek Panitah adalah dewa tertinggi. Ia hidup bersama istrinya yang bernama Ne Duniang. Anak Nek Panitah dengan Ne Duniang bernama Baruakng Kulub.

(2) Jubata.
Jubata adalah roh-roh yang baik. Jumlah mereka banyak. Tiap sungai, gunung, hutan, bukit mempunyai jubata. Yang terpenting adalah jubata dari bukit bawakng. Apa Mantu Ari adalah raja dari bukit bawakng. Untuk memanggil Jubata, hitungannya ada 7 (Tujuh), dan senantiasa diperingati pada setiap upacara ritual adat oleh Panyangahatn (Imam Adat) dalam Bamangnya sebagai berikut: Asa...dua...talu...ampat...lima...anam...tujuh, agi’nya koa....dst. Untuk menghadirkan atau (lebih tepat mengundang) Jubata untuk hadir pada setiap upacara ritual adat yang dilaksanakan, panyangahatn melakukan beberapa hal misalnya:
- MemanggilNya dengan suara jelas dan lantang Ooooooooooo Kita’ JUBATA.....dst..dst.
- MemanggilNya dengan perantaraan Bujakng Pabaras, yang dilambangkan dengan menghamburkan biji beras yang utuh sebanyak tujuh biji dengan bamang sbb: Aaaa....ian Kita’ Bujakng Pabaras, Kita’ nang ba tongkakng lanso, nang ba seap libar, ampa jolo basamptn, linsode batinyo saluakng jannyikng......dst
- MemanggilNya dengan bunyian Potekng Baliukng sebanyak 7 kali

(3) Kamang.
Kamang adalah roh-roh leluhur dari orang dayak. Ia berpakaian cawat dan kain kepala warna merah dan putih diputar bersama (tangkulas). Ini juga pakaian dari pengayau kalau mereka pulang dengan membawa hasil. Kamang pandai melihat, mencium bau dan makanannya darah. Ini terlihat dari upacara-upacara adat. Darah untuk kamang dan beras kuning untuk jubata. Kamang tariu dan kamang 7 bersaudara. Kamang tariu adalah adalah Kamang Nyado dan Kamang Lejak. Sedangkan kamang 7 bersaudara adalah Bujakng Nyangko (yang tertua) tinggal di Bukit Samabue, Bujakng Pabaras, Saikng Sampit, Sasak Barinas, Gagar Buluh, Buluh Layu’ dan Kamang Bungsu (dari Santulangan). Bujakng Nyangko adalah kamang yang baik. Sedangkan yang lain terkadang baik dan terkadang jahat. Saikng sampit, Sasak Barinas, Gagar Buluh dan Buluh Layu’ adalah kamang yang sering tidak senang dan menyebabkan pada waktu itu penyakit dan kematian. Kamang Tariu dengan 7 bersaudara itu adalah pelindung dari para pengayau dan

(4) Antu.
Jumlah antu banyak sekali. Dalam arti tertentu, mereka kurang lebih jiwa orang mati. Antu selalu menyebabkan penyakit pada manusia, binatang maupun tumbuhan. Antu cacar menyebabkan penyakit pada manusia. Antu apat menyebabkan penyakit padi dan antu serah menyebabkan banyak tikus makan padi diladang.

Azas Kehidupan
Orang Salako juga memelihara dan menjaga dua (2) azas kehidupan yang teramat penting. Keduanya saling berkait dan tidak dapat dipisahkan, yaitu; Pama artinya berkat, yaitu satu kekuatan yang membawa keuntungan. Pama hanya dimiliki oleh orang besar dan juga pengayau yang berhasil. Mereka mempunyai pama karena dianggap mereka mempunyai hubungan keatas, dengan jubata. Kalau orang yang mempunyai pama meninggal, pama pindah kepantak yang pada akhirnya ditempatkan dipadagi. Kata pama sendiri berasal dari bahasa sanskrit = umpama, berarti gambaran. Pantak adalah gambaran seseorang yang mempunyai pama pada waktu dia hidup dan jiwa.

Jiwa.
Ada 7 jiwa yang mereka percayai dalam kehidupan religinya, yaitu Nyawa. Hanya manusia dan binatang yang mempunyai nyawa. Nyawa hilang waktu meninggal. Sumangat. Bukan hanya manusia mempunyai sumangat, tetapi juga binatang, tanaman dan benda-benda. Ini dapat dilihat dari doa-doa persembahan yang selalu diakhir dengan memanggil kembali sumangat manusia, padi, babi, ayam, beras, emas, perak dan semua milik rumah. Sumangat dengan mudah keluar dari tempatnya. Kalau terkejut, sesudah suatu perbuatan yang berbahaya yang didampingi oleh ketakutan, sesudah memandikan anak kecil (bahaya sumangat anak hilang bersama dengan air). Sesudah melahirkan juga diadakan upacara nyaru’ sumangat. Cara sederhana untuk memanggil sumangat kembali : kurrr….a’ sumangat….. Mimpi disebabkan oleh sumangat, karena itu sumangat berjalan. Kalau kita sebut nama seseorang, sumangatnya pasti datang dengan kita dan kita akan bertemu dengan semangat orang itu dalam mimpi. Tempat sumangat ada dalam badan. Sumangat dikembalikan dalam badan oleh dukun baliatn lewat telinga kiri. Sesudah manusia meninggal, sumangatnya tidak menjadi pidara, tetapi pergi ke subayatn. Sumangat dari orang yang dibuatkan pantak pergi ketempat pantak itu dan bergabung dengan kamang. Ayu.Tempat ayu ada dibelakang badan. Kalau ayu pergi, ayu dikembalikan dipermulaan punggung (ka’ pungka’ balikakng), dibawah leher. Ayu melindungi manusia dari belakang. Penyakit yang disebabkan oleh kehilangan/kepergian ayu jauh lebih parah daripada penyakit yang disebebkan oleh kepergian sumangat. Dikatakan “lapas ayu“ atau rongko’ (sakit ayu). Sesudah orang meninggal, ayu menjadi pidara dan tetap tinggal bersama dengan badan. Ada hubungan erat antara ayu dengan hantu. Ayu juga disebut hantu. Sukat. Dalam doa selalu dikatakan “sukat nang panyakng satingi diri’“ artinya sukat yang panjang setinggi kami sendiri. Pertama sukat menunjuk kepada satu bagian dari badan manusia, mulai dari atas kepala lewat otak ke sumsum belakang. Penyakit bisa disebabkan oleh kekurangan sukat. Bohol. Bohol bersifat anatomis yakni garis perut dari tulang dada ke pusat atau lebih khusus tempat dibawah tulang dada yang berdenyut. Kurang bohol atau bohol yang tidak lurus adalah sala satu sebab penyakit. “kakurangan sukat nang manyak, kakurangan bohol nang jarakng“ demikian dukun menyebutkan sebab penyakit pasiennya. Penyakit karena kekurangan bohol terutama dialami oleh anak kecil. Dari wanita yang sulit beranak dikatakan “mereng bohol anak “ artinya bohol anak bayi miring. Dukun baliatn pandai mencari bohol yang hilang. Leo Bangkule. Leo Bangkule berarti jantung, hati, paru-paru atau semua organ dalam perut manusia. Dalam doa, leo bangkule sering diundang kembali. Bersama dengan leo bangkule selalu dikatakan : tali nyawa atau tali danatn atau tali dane. Untuk manusia, tali nyawa berarti saluran pencernaan. Dan Nenet Sanjadi. Nenet Sanjadi disebut juga saluran pernafasan (tali sengat), permulaan dari tali mulai dari karukok (kerongkongan).

Tanda-tanda Alam (Rasi)
Dalam praktek kehidupan sosialnya, Orang Salako selalu memperhatikan tanda alam, yang dikenal dengan istilah ‘rasi’. Tanda ini dipahami sebagai “alam” (bhs. Dayak Salako: palangkahan) bagi manusia agar memilih waktu (jam, hari) yang tepat dalam melaksanakan kegiatan. Pemahaman ini dijelaskan dalam mitos Kulikng Langit, tokoh dalam mitos manusia mendapatkan palangkahan dari para rasi dengan Nek Baruang kulup.8 Kasus lain sebagai contoh yaitu sebuah mitos Maniamas yang melanggar suara rasi dari kijakng (kijang) – sebuah rasi keras, rasi orang mati berdarah.
“Ketika maniamas hendak menebang pohon besar diladangnya, tiba-tiba terdengar suara kijang dari semak disekitar rumahnya. Walaupun dia tahu rasi itu, ia tidak perduli dan tetap melanggarnya. Dia keluar dari rumah dan pergi ke ladang. Begitu dia selesai menebang pohon itu, di sebelahnya telah menanti musuhnya, Leo Baja, dari kampung Barangan, Leo Baja langsung melemparkan boekng (tombak)-nya ke arah maniamas, Maniamas Nyingkubokng (melompat) tiga kali melengakannya. Begiru Maniamas berdiri kembali ketanah, Leo Baja langsung menyerangnya dengan tangkitn (sejenis parang khusus untuk menganyau). Maniamaspun langsung menghunus tangkitnnya. Mereka saling memyerang, memotong, menebas. Keduanya sama-sama kuat. Tiba-tiba kaki Maniamas terikat oleh kayu dan terjatuh. Saat itu juga tangkitn Leo Baja menyambar batang lehernya. Darah menyucur dan kepala terlepas. Leo Baja puas. Dia pulang dengan menintng kepala Manianas. Bagaimana cara kamang pulang bakayo, begitu juga adat yang diikutinya. Ini akibat melanggar rasi keras, rasi orang mati berdarah.”

Selanjutnya, kesuburan semua mahluk dalam kosmos ini tidak luput dari campur tangan burung Tingkakok dan burung Bungkikik. Kedua burung Jubata ini dengan suaranya yang khas menimang agar semua mahluk hidup timbuh subur, berbuah, berkembang biak dan berketurunan. Manusia mendapatkan kebaikan dari kedua burung ini. Berkat timangan burung ini manusia dapat berketurunan, segala ternak di rumah, hewan disungai dan dihutan berkembang biak, dan tanaman padi dan pohon buah-buahan mengeluarkan buah yang lebat.

Siapakah Orang Kanayatn Itu ?
Berdasarkan temuan-temuan diatas, terutama mitologi, cirri kebudayaan dan rekonstruksi migrasi serta penyebarannya, jelas Orang Salako memiliki kesamaan dengan kelompok suku yang kini menamakan dirinya Orang Kanayatn. Muncul pertanyaan, siapakah Orang Kanayatn itu ?

Tahun 2008 ini adalah tahun ke lima puluh sembilan (59) sejak istilah Kanayatn/Kendayan/Kandayan ditulis pertama kali oleh Pastor Donatus Dunselman, OFM.Cap (1949), dalam laporannya yang berjudul, "Bijdrage tot de kennis van de taal en adat der Kendajan Dajaks van West-Borneo". Bernard Sellato (Sellato;1989a) menemukan tidak ada istilah Kanayatn sebagai salah satu kelompok etnik di Kalimantan.

Dari aspek mitologi religius, ada kesamaan praktek antara wilayah Kabupaten Sambas (sebelum pemekaran) dan Kabupaten Pontianak (sebelum pemerkaran). Misalnya cerita Nek Baruakng Kulup, kosakata dalam doa Nyangahatn dan tempat-tempat mistis seperti Bukit Bawakng, dll.

Dari penelusurannya, Takdir (dalam Takdir;2003;16) mengatakan bahwa istilah Kanayatn mungkin berasal dari bahasa Sanskerta/Kawi yakni: dari kata Kana + Yana atau Kana + Yani. Kana=Sana, Yana=Jalan atau Yani=Sungai. Hal ini dapat dilihat dari pola pemukiman dan penyebaran Orang Salako yang rata-rata diwilayah sebelah utara dari wilayah kelompok Austronesia (Prawiroadmojo;1981). Sebagaimana polanya, migrasi kelompok Austronesia dalam jumlah besar pertama kalinya memasuki muara sungai Salako (bhs.melayu;Selakau). Tidak jauh dari sungai ini, ada sebuah bukit yang namanya Bukit Sarinakng (bhs.melayu; Selindung). Sungai ini berasal dari Bukit Bawakng. Pada waktu itu, Bukit Sarinakng adalah kawasan pantai, karena ada proses alam kini telah jauh dari pantai.

Dalam pengertian lain, Kanayatn juga berasal dari kata Nganayatn (ucapan yang tidak tepat seperti penutur asli), biasanya dipopulerkan dalam ritual pengobatan (balenggang) (Krist.Atok;2006;16).

Namun, istilah “Kendayan” kemudian lebih populer di kalangan Orang Salako yang menuturkan bahasa Ba nana'-ahe dan varian sejenisnya yang bermukim di Kabupaten Landak, Pontianak, Sambas dan Bengkayang, sehingga penutur varian-varian bahasa tersebut disebut Dayak Kanayatn, padahal Dunselman sendiri dalam Cense dan Uhlenbeck (1958:15) menyebut orang-orang yang berbahasa Bakati' Rara sebagai "Old-Kendayan" atau Kendayan Tua (versi lokal Kanayatn).

Bukti lain mengenai hal ini adalah bahwa di Kabupaten Bengkayang, ditemukan beberapa Orang Bakati', yang secara kolektif menyebut dirinya Dayak Kanayatn atau Kanayat. Di Jaruk Param (salah satu kampong diwilayah Kecamatan Lembah Bawang sekarang), mereka mengenal sebuah wilayah (ancestral domain) Binua Kanayatn. Mereka berbahasa Bakati’. Akim, seorang wartawan dan penulis pernah menulis tentang Orang Bakati ini (lihat stefanusakim.wordpress.com). pada sisi ethnolinguistik, Bider (dalam David;2008) menjelaskan bahwa sentra Orang Bakati’ sebagian besar mendiami wilayah utara Kabupaten Sambas, di Kecamatan Pemangkat, Bengkayang, Ledo, Sanggau Ledo, dan Seluas. Menurutnya, dari segi etnolinguistik bahasa Bakati’ dapat dibagi dalam tiga aksen atau dialek besar, yaitu bahasa Bakati Riok, Bakati Sara, dan Bakati Lara. Dari segi populasi, penutur bahasa Bekati Lara lebih banyak dibanding yang lain. Sungguhpun demikian, dalam pergaulan dan berinteraksi di wilayah Banoe, mereka saling mengidentifikasi diri ats perbedaan akses masing-masing. Namun dalam berinteraksi dengan masyarakat luas mereka mengidentifikasi diri sebagai orang Bakati’ saja. Perbedaan dialek dan akses tidak menjadi suatu hambatan dalam interelasi dan komunitas di antara mereka.

Proses pelembagaan dan penyebarluasan istilah Kanayatn dimulai ketika dilangsungkannya MUSYAWARAH ADAT se-Kecamatan Sengah Temila pada tanggal 23-24 Mei 1978 di Pahauman yang menetapkan motto:”Adil Ka Talino, Ba Curamin Ka Saruga, Ba Sengat Ka Jubata” dan ditindaklanjuti di tingkat kabupaten pada tanggal 23-25 Maret 1985 di Gedung SMP Negeri Anjungan. Hasil penting Musyawarah Adat II ini adalah mengesahkan pembentukan wadah adat ditingkat kabupaten yang diberi nama “ DEWAN ADAT DAYAK KANAYATN KABUPATEN PONTIANAK”. Organisasi ini berkedudukan di Mempawah ibukota Kabupaten Pontianak (Kay;2006;9).

Pasca musdat iu, Kanayatn, semakin dipopulerkan oleh berbagai kalangan. Misalnya munculnya tulisan mengenai Dayak Kanayatn di Buletin Mimbar Untan; sejak tanggal 1 April 1992. Ada juga siaran radio berbahasa Dayak Kanayatn di RRI Pontianak, secara khusus bahasa Banana'. Peran siaran radio ini sangat besar dalam mensosialisasikan identitas baru ini. Majalah Kalimantan Review No. 07, April-Juni 1994, menyoroti dua jenis pesta padi orang Dayak Kanayatn yaitu melalui peliputan Naik Dango dan Maka' Dio. Apa yang disoroti oleh KR pada waktu itu adalah dua jenis upacara adat pesta padi pada suku Bakati', dan Banana' dan varian sejenisnya, yang sama-sama menyebut diri mereka sebagai Dayak Kanayatn, walaupun secara linguistik mereka menuturkan dua bahasa dengan adat istiadat yang berbeda.

Sejak tahun 1980-an, istilah Kanayatn (berubah menjadi Kendayan) juga diambil dan disebarluaskan di kalangan Akademis Universitas Tanjungpura Pontianak antara lain oleh Donatus Lansau, Yoseph Thomas Lay dan Yohanes Yan Pius, dkk. Yang menerbitkan buku Struktur Bahasa Kendayan (1981), morfologi dan Sintaksis Bahasa Kendayan (1984), dan Morfologi Kata Kerja Bahasa Kendayan (1985) dari Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia. Ironisnya, sebagai peneliti namun tidak pernah menyatakan kembali nama Kanayatn sebagai suku Dayak yang berbahasa baahe/banana’/badameo/bajare. Selanjutnya nama itu dipakai lagi sebagai nama suku Dayak yang berdialek baahe/banana’ dalam upacara Naik Dango pertama kali di Pahauman. Kini nama Kanayatn telah populer sebagai nama suku Dayak yang berdialek baahe/banana’ (dimanapun mereka berada), namun mereka yang berdialek dameo/jare tidak menerima itu dan tetap menyebut diri mereka suku Dayak Salako, dan Kanayatn adalah nama mereka yang berbahasa bakati’, banyadu’ dan isolek lainnya. Lebih lanjut, artikel yang ditulis oleh Julipin dan Niko Andas (1997) juga mulai menyoroti identitas baru ini. Mereka menyatakan:
“….. menurut beberapa sumber,pada tahun 1984 orang-orang yang berdialek Bakati’ dan Banyadu’ yang sekolah di Nyarungkop masih disebut Orang Kanayatn oleh orang-orang dari Samalantan dan Pahauman. Menurut orang Dayak Bukit Talaga, Orang Kanayatn itu adalah orang-orang yang tidak fasih berbicara dialek ahe/banana’. Mereka misalnya tidak mampu mengucapkan kata-kata yang berakhiran dengan: -utn, -ant, -ikng, - ukng, -ekng, secara baik dan benar. Dan yang tidak pasih berbahasa ahe/banana’ itu adalah orang-orang Dayak (Kanayatn) yang berdialek mpape, banyadu’, dan balangin.

Pemberian nama Kanayatn (dalam bhs. Melayu: kandayan/kendayan) dalam organisasi Dewan Adat yang baru terbentuk ini barangkali berpatokan dari buku karya Pastor Donatus Dunselman OFM. Cap diatas.


PENUTUP
Bagaimanapun, identitas Kanayatn, masih teka-teki hingga hari ini. Berbeda dengan saudara-saudaranya di kawasan timur-selatan Kalimantan Barat, dikawasan utara-barat, identitas Dayak masih dalam tahap pergumulan (meminjam istilah Atok;2007;9). Atok, dalam bukunya Dayak Kanayatn Menggugat (2002) mengatakan, banyaknya sebutan dan beragamnya pengklasifikasian orang Dayak di kawasan utara Kalbar merupakan indikator bahwa orang Dayak Kanayatn masih berada dalam pergumulan identitas. Demikian pula halnya dengan Simon Takdir, dalam makalahnya “Suku Dayak Salako”, ia tetap berpendirian bahwa Orang Kanayatn adalah kelompok etnik yang tidak fasih berbahasa ahe,janya, damea, jare.

Atas berbagai pergumulan ini, menurut saya, sebutan atas identitas (Orang Kanayatn) yang ada sekarang belumlah berbentuk final. Contoh paling nyata adalah kelompok suku ini masih menyebut dirinya berbeda-beda ; misalnya Dayak Bukit di daerah Talaga-Sengah Temila, Dayak Salako di Kec Mempawah Hulu, dan di Kab Sambas dan Bengkayang, Dayak Mampawah di DAS Mempawah, Dayak Menyuke di DAS Menyuke, dll. Mereka umumnya tidak terima disebut Dayak Kanayatn, walaupun dasar argumentasinya kuat. Mengapa mereka terkesan diam ? Ini mungkin salah satu bukti bahwa dalam kehidupan sehari-harinya orang Dayak itu menghindari konflik (tidak mau berkelahi).
“….mereka percaya bahwa “waktu” lah yang kelak akan membantunya mengatakan siapa diri mereka sesungguhnya. Belum lagi yang telah berpindah agama. Orang Dayak yang memeluk Islam menyebut diri mereka Melayu, padahal kakek-nenek mereka yang Dayak masih hidup”.
Bila ditinjau dari pola migrasi dan penyebaran bahasa, saya berkesimpulan bahwa kelompok suku yang berdialek ba nana, ba ahe, ba jare, ba damea sebagai Orang Salako dan menggolongkan kelompok suku yang berdialek ba kati’, ba nyadu’, baiyam dan isolek lainnya sebagai Orang Kanayatn. Untuk sebuah peradaban, saya menyarankan agar nama Kanayatn itu dikembalikan kepada yang berhak, yaitu meraka yang berdialek bakati’, banyadu’, bainyam.

Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Sosial Universitas Tanjungpura Pontianak, Program Studi Ilmu Politik.
Baca Selengkapnya......

Adat

Oleh Yohanes Supriyadi
Sebelum membahas fenomena komunitas adat lebih lanjut, saya ingin menegaskan bahwa kekuasaanlah yang akhirnya menetukan arah perkembangan sosial manusia. Sejak kapan kekuasaan menjadi simbol eksistensi manusia ? menurut Karl Marx, eksistensi manusia dapat dilihat dari kekayaan materi yang dimilikinya. Semakin kaya seseorang semakin mendapat penghargaan, penghormatan dan ditinggikan derajatnya. Materi inilah yang menyebabkan manusia membangun stratifikasi, antara yang kaya dan miskin. Rene Descartes, filsuf perancis mengatakan cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada). Sampai sekarang, pendapat Rene ini dipakai manusia untuk mengatakan dirinya ada. Deddy Mulayan, merujuk Thomas M Scheidel, menyebutkan bahwa aktivotas komunikasi juga menjadi instrumen untuk menyatakan eksistensi diri, sehingga berlaku pameo “ saya berbicara, maka saya ada”. Bila kita berdiam diri, orang lain akan memperlakukan kita seolah-olah kita tidak eksis. Namun ketika kita berbicara, orang lain akan memperlakukan kita seolah-olah kita ada.

Penguasaan atas akses dan aset sumber eksistensi ini dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa sumber-sumber yang diperebutkan relatif statis, sementara manusia yang memperebutkannya semakin banyak, tensu saja juga sama dengan kebutuhannya. Hal ini membuat manusia masuk dalam aktivitas kopetisi yang sangat ketat. Barangsiapa yang menguasai aset sumber daya tersbeut, ia akan tampil menjadi ”pemimpin” yang mempunyai kekuasaan mengatur, mengendalikan dan mendistribusi. Cara kerja kekuasaan dalam proses sosial inilah yang kemudian melahirkan praktek hegemoni. Kekuasaan lebih lanjut berarti kemampuan atau kesematan untuk menjalankan dan mengatur interaksi masyarakat. Secara politik, kekuasaan identik dengan sistem pemerintahan negara. Namun, dalam kehidupan konkrit, kekuatan terjelma dalam pelbagai macam lembaga dan kegiatan. Kepala desa mempunyai tangan-tangan yang mengatur jalannya pemerintahan berdasarkan perintah birokrat ”diatasnya”, para pemuka agama mempunyai kekuasaan dalam menggerakkan umat untuk bertindak menurut pola agama, dan para tetua adat mempunyai kekuasaan untuk menggerakkan umatnya untuk bertindak menurut adat dan taat pada hukum adat serta melindungi wilayah adat, sesuai ajaran leluhur. Persaingan dalam memperebutkan pengaruh itulah indikasi cara kerja kekuasaan, karena kekuasaan selalu ingin memperbesar pengaruhnya.

A. Pergulatan identitas; menuju unifikasi etnik
Pasca hancurnya kekuatan pemerintah Orde Baru, komunitas adat di Kalimantan Barat merasakan betapa pentingnya adat dalam mengawal ”proses” kehidupan selanjutnya. Sungguhpun sempat terjatuh dalam aksi kekerasan rasial selama kurang lebih 100 tahun, komunitas adat dengan dukungan para intelektualnya di partai politik dan LSM, mulai menapak hari-harinya dengan penuh keyakinan, bahwa bagaimanapun juga adat tetap menjadi pilihan terbaik ditengah terpuruknya moralitas bangsa diabad modern saat ini. Namun, membangun gerakan ini ternyata tidaklah mudah. Selain kurang solidnya pemimpin mereka, juga telah hancurnya kelembagaan lokal, yang telah menjadi acuan selama ini melalui politik unifikasi hukum atas nama desa.
Secara kasat mata, gerakan kembali ke adat dimulai pada pertengahan tahun 1985. dimana, pada tahun ini, identitas suku-suku kecil sebagai komunitas adat yang bertebaran pada 4 kabupaten di Kalimantan Barat muncul. Dulu, suku-suku kecil ini menamakan dirinya beradarkan nama tempat tinggal atau persekutuan hukum yang dibangun nenek moyang mereka. Namun, ditahun ini pula, identitas itu mulai diangkat kembali. Mereka bertanya-tanya, siapakah kami sebenarnya ? Siapakah suku Dayak Kanayatn itu ? untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan ini, kembali saya membolak-balik berbagai literatur. Saya menemukan sebenarnya tidak banyak literatur yang menunjukan secara detail keberadaan suku Kanayatn di Kalimantan, bahkan dibeberapa hasil penelitian “orang Barat“ tidak ada satupun yang menunjukan dengan tegas “ Kanayatn”. Kata Kanayatn secara jelas terdapat dari tulisan Pastor Donatus Dunselman OFM.Cap tahun 1949 dengan judul “Bijdrage Tot De Kennis Van Detaal En Adat Der Kendajan-Dajaks van West Kalimantan“. Ia melakukan penelitian di Desa Tiang Tanjung Mempawah Hulu yang dekat dengan desa-desa orang Bakati’ ( Jirak, Sebangki, Timpurukng ) dan desa-desa orang Banyadu’ (Pentek, Semade, Parigi). Menarik bahwa dikemudian hari, hasil penelitian Dunselman ini diadobsi secara menyeluruh oleh kalangan elit politik Dayak yang mengidentifikasikan dirinya sebagai “Kanayatn“ pada tahun 1980-an. Mungkin ini bagian dari kepentingan untuk memperluas basis politik dan kekuasaan ( politik unifikasi) mereka, yang kalau dilacak merupakan politik khas Orde Baru. Para elite Dayak ini menyepakati bahwa orang-Dayak yang tinggal dipedalaman bagian utara dan selatan Kalimantan Barat sebagai Dayak Kanayatn, sebuah identitas baru pada suku ini.
Dalam kacamata sejarah bangsa ini, Stanley Karnow, seperti dikutip Simon Takdir, 2003, membuat peta perjalanan migrasi bangsa Austronesia dari daratan Asia menuju pulau Kalimantan melalui Semenanjung Malaya. Mereka memasuki muara sungai Sambas dan Salako (Selakau, menurut ejaan Melayu). Kelompok yang memasuki sungai Sambas kemungkinan besar bermukim dikaki bukti senujuh, dikawasan sungai Sambas Besar. Dikawasan ini dikemudian hari pernah berdiri kerajaan Sambas sekitar tahun 1291 dengan rajanya Ratu Sepudak, seorang yang telah beragama Hindu. Rakyatnya masih mengant agama tradisional. Apakah mereka iini merupakan keturunan dari kelompok yang bermigrasi itu ? untuk menjawab ini, seorang antropologi, Wonojwasito, 1957 menjelaskan bahwa jauh sebelum bangsa Austronesia bermigrasi diseluruh kepulauan Indoensia, kepulauan Indinesia termasuk Kalimantan telah ada penduduknya, yaitu bangsa Weddoide dan bangsa Negrito. Mereka mendiami lkepulauan ini sejarh zaman prasejarah dan kebudayaan mereka dinamakan kebudayaan Paleolitikum (Loebis, 1972), kebudayaan batu tua, karena mereka belum mengenal pemakaian alat dari logam. Namun begitu, penduduk lama ini telah lenyap sama sekali di Indonesia (Wojowasito, 1957). Kelompok Asutronesia yang bermukim dikaki bukit Senujuh ini, karena julahnya kecil, akhirnya hilang karena ditaklukan dan berbaur dengan penduduk yang lebih dulu datang kedaerah itu. Pembauran ini melahirkan nenek moyang suku yang disebut suku Kanayatn atau Rara dengan ragam-ragam bahasa mereka yaitu bakati’, ba nyam, dan ba nyadu’. Para penurut tiga bahasa ini masih mengerti bila mereka berkomunikasi dalam ragam mereka masing-masing. Menurut informan saya, kanayatn itu berada disebelah sana sungai atau jalan. Maksudnya yaitu suku Kanayatn berada disebelah utara sungai Salako/Selakau, didaerah Kinane, Subah dan sebagainya atau disebelah utara jalan raya. Barangkali ini sejalan dengan kata sanskerta/kawi yaitu Kanayatn berasal dari kata : Kana + Yana, atau Kana + Yani. Yang berarti Kana : sana, Yana : jalan, yani : sungai ( Prawiroadmojo, 1981 ). Jika benar, apakah secara etimologis nama Kanayatn berasal dari kata tersebut diatas, yaitu suku yang tinggal disebelah sana jalan atau sungai ?
Ditopang oleh kaburnya literatur yang menjelaskan secara detail keberadaan suku Kanayatn saat ini, maka saya mengamati sebuah organisasi yang mengatasnamakan Dayak Kanayatn, dibentuk pada tanggal 23 Maret 1985 yang bernama Dewan Adat Dayak Kanayatn. Walaupun masih terdapat simpang siur disana-sini tentang sejarah pembentukan organisasi ini, saya kemudian mengkaitkannya dengan kepiawaian para tokoh politik orang “Dayak”, pada awal Orde Baru. Mereka telah melihat peluang yang besar untuk menyatukan Dayak melalui satu kekuatan politik di Golkar, sebuah partai pemerintah. Konsekuensinya harus ada ikatan pemersatu, istilah 'Kanayatn' atau 'Kendayan'. Kemudian dimanfaatkan sebagai sarana pemersatu sub-suku Dayak di Kabupaten Pontianak dan Sambas. Misalnya diadakan Musyawarah Adat Dayak Kanayatn di Anjungan tahun 1985, yang melahirkan Gawai Naik Dango setiap tahun di Kabupaten Pontianak. Para politisi Dayak dari Golkar menggunakan istilah 'Kanayatn atau 'Kendayan' untuk mengumpulkan suara orang Banana'-Ahe dan varian sejenisnya yang mayoritas di Kabupaten Pontianak kala itu.
Untuk membuktikannya, ditemukan sebuah dokumen penting yang menyebutkan Kanayatn mulai “dipakai “ pada tanggal 23-25 Maret 1985, melalui Musyawarah Adat se-Kabupaten Pontianak di Anjungan. Pada akhir musyawarah, peserta sepekat untuk membentuk Dewan Adat Dayak Kanayatn Kabupaten Pontianak. Selama musyawarah, banyak peserta yang pro dan kontra atas istilah Dayak Kanayatn, untuk menyebut diri mereka. Seorang bekas peserta mengatakan kepada saya, bahwa ia tidak setuju ada pengelompokan suku Dayak. Menurutnya, Dayak akan kuat bila identitasnya tetap dipertahankan. Namun argumen itu tidak sama sekali muncul dimusyawarah, karena dilihatnya semua peserta orang-orang Golkar, yang ia kenal. Ia sendiri berterus-terang simpatisan sebuah partai non Golkar, yakni PDI. Pada akhir musyawarah ini, peserta memilih F. Bahaudin Kay, sebagai ketua umum DADK Kab. Pontianak. Ia adalah seorang Timanggong dari Binua Temila Ilir I –Pahauman. Inilah organisasi dayak pertama pada era Orde Baru dan secara resmi Kanayatn mulai diperkenalkan sebagai identitas baru bagi Dayak yang ada di Kabupaten Pontianak dengan motto “ Adil Ka Talino, Ba Curamin Ka saruga Ba Sengat Ka Jubata”. Lambang organisasi ini adalah pemipis dan gantang. Dengan prestasinya ini, F. Bahaudin Kay, yang juga wakil bendahara DPD Golkar Kab. Pontianak periDayake 1983-1988 pada PEMILU tahun 1992, terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Pontianak untuk periDayake 1992-1997 dari GOLKAR. Setelah musyawarah adat itu, istilah Dayak Kanayatn kemudian dipopulerkan berbagai kalangan melalui tulisan dimedia massa, buku-buku serta program-program radio. Misalnya tulisan mengenai Dayak Kanayatn di Buletin Mimbar Untan; sejak tanggal 1 April 1992, ada siaran radio berbahasa Dayak Kanayatn di RRI Pontianak, yang adalah bahasa Banana' yang menyebar di Kabupaten Pontianak dan Sambas. Peran siaran radio ini sangat besar dalam mensosialisasikan identitas Kanayatn untuk orang-orang yang berbahasa Banana'-Ahe, dan varian sejenisnya. Istilah ini menjadi berurat berakar pada Dayak di Kabupaten Pontianak (sekarang Pontianak dan Landak) dan Sambas (sekarang Sambas dan Bengkayang). Demikian juga berbagai tulisan yang dimuat dalam Majalah Kalimantan Review dan buku-buku terbitan Institut Dayakologi. Tanpa sadar, peran banyak pihak telah mempopulerkan identitas baru ini yang berdampak sangat besar pada perubahan-perubahan berikutnya.
Sejak itu, tidak pernah lagi terdengar perdebatan istilah ini secara signifikan. Baru, pada akhir tahun 1999, istilah ini muncul kembali. Adalah Institute Dayakologi, sebuah LSM Dayak yang kembali membuka perdebatan seputar istilah Kanayatn. Dimuali dengan musyawarah adat di wilayah Binua Temila, Maniamas Miden SoDayak, bersama ratusan penduduk dibinua ini pada akhir tahun 2001 mendeklarasikan komunitasnya sebagai komunitas Dayak Bukit. Perdebatan istilah Kanayatn mulai menghangat kembali ketika di seminar Naik Dango XVIII se-Kabupaten Landak dan Kabupaten Pontianak di Menjalin, seorang antropolog Dayak Salako, Simon Takdir, membahas seputar Dayak Salako. Ia secara rinci menjelaskan kepada peserta, betapa Dayak Salako adalah induk dari berbagai suku-suku yang berdialek banana, ahe, bajare. Menurutnya, suku Kanayatn sebenarnya adalah orang-orang yang berbahasa non ba ahe dan non bajare, yakni orang-orang yang berbahasa nganayatn ( ucapan yang tidak tepat seperti penutur asli ) dan itu berarti Kanayatn adalah orang-orang Bakati, Banyadu’, Bainyam dan isoleknya yang lain. Simon membeberkan sejumlah fakta bahwa di Kabupaten Bengkayang, ditemukan beberapa subsuku Dayak Bakati', yang secara kolektif menyebut dirinya Dayak Kanayatn atau Kanayat. Dalam kenyataannya, istilah 'Kanayatn' populer di kalangan orang yang berbahasa Banana' dan varian sejenisnya, terutama yang bermukim di aliran Sungai Mampawah dan anak-anak sungainya. Oleh aktivis Dayak, pergulatan mengenai istilah kanayatn ini mulai diangkat kepermukaan dalam berbagai diskusi, atau forum seminar ( lihat Bulletin Simpado, Edisi I Jan-Maret 2004, yang ditulis Kristianus Atok ).

B. Perdebatan Yang tak Henti di Sekitar Pelaksanaan Hukum Adat
Akhir-akhir ini kita sering membaca di koran bahwa suatu kasus/tindak pidana diselesaikan dengan "hukum adat". Bahkan kadang sudah menjurus dikomersilkan, sehingga cukup memberatkan bagi pelanggar. Tidak jarang untuk memberlakukan hukum adat menggunakan/mengarakan kekuatan massa. Padahal sejak berlaku hokum positif yang mengejawantah dalam KUHP bagi seluruh rakyat Indonesia pada tahun 1848 (ulangi tahun 1848 Kodifikasi Hukum Positif Indonesia) maka Hukum Adat diseluruh Indonesia dinyatakan tidak berlaku lagi, namun tetap dihormati. Arti dihormati disini adalah bahwa bila ada suatu suku bangsa yang ingin menerapkan Hukum Adat hanya berlaku untuk suku bangsa itu sendiri secara intern, tidak berlaku untuk suku bangsa lainnya. Suku bangsa yang diberlakukan hokum adat berarti si pelanggar tersebut mengandung 2 (dua) resiko: 1. Menerima penjatuhan Hukum Adat berdasarkan adat setempat. 2. Menerima penjatuhan hukum positif/Pidana (karena hukum adat tidak dihapuskan hukum pidana, hanya dapat digunakan untuk bahan pertimbangan yang meringankan). Beberapa pihak menyatakan keberatannya dengan pemberlakukan hukum adat ini. Menurut mereka, seharusnya hukum adat cukup berlaku dikomunitas adat, dan bukan ditempat lain.
Bagi suku bangsa yang memberlakukan hukum adat, misalnya suku Dayak di Kalimantan Barat di Daerah Kabupaten Landak, maka hanya berlaku untuk daerah intern saja, bahkan jika suku Dayak Kabupaten Sintang/Kapuas Hukum melanggar suatu kasus di daerah Landak, tidak bisa diterapkan hukum adat. Untuk menjembatani ini, maka tetap Hukum Positif (KHUP), karena penerapan Hukum Adat suatu daerah kemungkinan tidak sama dengan daerah tempat terjadinya pelanggaran/kasus tersebut. Demikian juga pelaksanaan Hukum Adat tidak boleh bertentangan dengan Hukum Positif (KUHP), misalnya melakukan penyenderaan/penyitaan .
Penerapan hukum adat, juga mulai dipertanyakan warga berbagai acara pertemuan masyarakat. “Saya hanya ingin mempertanyakan, batasan wilayah mana hukum adat itu berlaku, karena sekarang banyak orang mengatasnamakan forum, atau pemuka adat,bahwa sesuatu telah melanggar hukum adat," tanya warga . Lebih lanjut dikatakanya, tak adanya batasan yang jelas dilaksanakanya hukum adat itu, dapat menimbulkan ekses negatif dalam kehidupan bermasyarakat. Hal itu juga dapat mendorong konflik dalam kemajemukan kehidupan warga. Memang sampai saat sekarang masih belum ada pembakuan hukum adat secara universal. Dalam salah satu acara pelantikan pengurus adat, seorang Ketua Dewan Pemangku Adat MABM Ketapang, menyerahkan buku "Adat Istiadat dan Hukum Adat Melayu Kayung" kepada pengurus ranting MABM Sandai Kanan. Buku yang diterbitkan MABM Kabupaten Ketapang itu menjelaskan jati diri Melayu serta hukum adat Melayu Kayung. Yang disebut puak Melayu itu adalah orang yang beragama Islam, berbahasa Melayu dan menggunakan adat istiadat Melayu. Puak Melayu itu adalah non genealogis,". Menurutnya, hukum adat Melayu merujuk pada syariat Islam. Sebagai rakyat Indonesia, maka seharusnya kita tunduk pada hukum positif . Jadi kalau etnis lain boleh melaksanakan hukum adatnya kepada publik di luar wilayah adatnya. Dardi menerangkan sebagai orang Melayu berharap pemerintah RI mengakui hukum syariat Islam. Ini juga sudah tertuang dalam piagam Jakarta. Dia juga mengingatkan MABM ranting Sandai Kanan agar jangan melaksanakan hukum adat di luar syariat Islam. Dicontohkannya seperti denda atau membayar adat sebagai ganti hukuman terhadap pelanggar tindak kriminal. "Kalau jelas pelanggaran kriminal seperti perzinahan, hendaklah diserahkan kepada pihak penegak hukum, bukan dihukum adat," tegasnya . Penegasan itu, ketika dilakukannya pembentukan pengurus ranting Sandai Kanan pada 25 Maret 2005.
Senada dengan tokoh ”Melayu” diatas, pelanggaran hukum terutama tindakan kriminal, juga seharusnya tetap dibawa hukum positif dan jangan dilarikan ke hukum adat. Hukum positif harus lebih ditegakkan, ungkap Kapolres Sintang melalui Kapolsek Nanga Pinoh IPTU M Surbakti . Menurutnya, permasalahan ini perlu perhatian dari semua kalangan serta warga dan juga tokoh adat, karena tindakan yang melanggar hukum bahkan sudah mengarah kepada tindakan kriminal memang harus dibawa ke hukum positif, karena di dalamnya sudah ada mengaturnya serta undang-undangnya. Jadi pada intinya, apabila ada kasus yang menyangkut masalah kriminal dan sejenisnya, jangan di larikan ke hukum adat. Permasalahan yang sering terjadi, ada masalah yang terkadang di selesaikan dengan acara adat, meski tindakan itu memang kriminal. Jadi masalah ini ke depannya perlu menjadi perhatian serta untuk dipahami oleh semua elemen yang ada. Kemudian di sisi lain Sino S Sos, pemerhati pembangunan Melawi menambahkan bahwa apa yang dikatakan olek Kapolsek Nanga Pinoh perlu dukungan dan perhatian masyarakat, karena hukum positif merupakan barometer penegakan hukum. "Jangan masalah pencurian dan sebagainya lalu diselesaikan dengan cara hukum adat lalu selesai," ujarnya. Disisi lain ada juga tindakan kekerasan terhadap wanita, terkadang diselesaikan dengan cara adat, padahal tindakan yang dilakukan itu cukup berat, karena menyangkut kelangsungan hidup si korban. Bahkan Kapolsek minta kepada warga jangan takut serta engan melaporkan tindakan kekerasan terhadap wanita, sebab dibiarkan maka pelaku akan tidak jera serta merajalela. Namun, seorang pejabat pemerintah mengatakan bahwa jangan salahkan hukum adat. Menurutnya, hukum adat yang berlaku adalah merupakan warisan leluhur yang memang harus dilestarikan dan silaksanakan sesuai dengan ketentuan adat setempat. Tetapi dibalik itu, ia juga mengingatkan agar masalah adat ini benar-benar diperhatikan dengan baik. Mengingat sekarang ini, Pemerintah sedang giat-giatnya menarik para investor untuk dapat menanamkan modalnya sehingga diharapkan Adat tersebut tidak menghambat dan membuat investor merasa takut datang .
Perdebatan diatas kemudian semakin meruncing dengan suara sumbang yang hadir di Harian Pontianak Post hari Jum'at (5/3/2004) tentang "Tegakkan Hukum Positif, Tolak Hukum Adat" yang dikeluarkan oleh Ir. Ikdar Salim dan Zulkarnaen Bujang selaku tokoh masyarakat Melayu dan sebagai Ketua Forum dan Ketua Tim Sebelas FKPM Singkawang. Pernyataan ini kemudian menimbulkan rekasi keras dari kalangan Dayak. Seorang pemuda Dayak, yang juga duduk sebagai ketua III dalam kepengurusan Kelembagaan Dewan Adat Dayak Kota Singkawang, sangat tidak sependapat dengan pernyataan kedua orang ”melayu” yang berani-beraninya ngomong lancang terhadap Dewan Adat Dayak, sebagai penyelesaian kasus Kn . Tokoh ini meminta keduanya untuk jangan mencampuri dan adat budaya orang lain dan harus meminta maaf kepada seluruh masyarakat dan suku Dayak yang ada di kalimantan (Borneo) dan khususnya masyarakat Dayak Kota Singkawang. Sebab menurutnya, Adat dan kelembagaan Dayak lebih dulu lahir dari Forum yang mereka pimpin.
Apa yang melatarbelakangi ”perang” sikap atas pemberlakukan hukum adat diatas ? Mengenai fenomena Hukum Adat sekarang ini diterapkan pada masyarakat kota (misalnya: Singkawang dan Pontianak), saya menyatakan bahwa hal itu adalah "Kebablasan". Saya berani menyatakan hal itu sebagai suatu kebablasan, karena penerapan sanksi adat tersebut sudah menyimpang dari hukum adat yang sebenarnya. Sanki Hukum Adat hanya dapat dijalankan pada lingkungan masyarakat adat yang secara "de facto" kehidupan warganya masih berpegang pada Hukum Adat. Jadi, hukum adat berlaku mutlak di kampung-kampung pedalaman Kalimantan Barat karena realitas sosial masyarakatnya yang secara de facto masih berpegang pada adat istiadat tersebut. Sanski hukum adat itu berlaku bagi siapa saja yang melanggar, termasuk warga dari suku/daerah lain yang melakukan perbuatan "sumbang" di wilayah Hukum Adat. Penulis surat pembaca tadi keliru jika mengatakan hukum adat hanya berlaku intern bagi anggota suku Dayak saja. Jadi yang penting adalah "locus delicti". Kota, menurut saya bukan wilayah Hukum Adat, khususnya yang menyangkut aspek pidana. Penerapan sanksi hukum adat di perkotaan juga saya anggap sudah kebablasan karena terkesan sudah dikomersialisasikan. Tujuan sanksi hukum adat yang asli di kampung-kampung adalah untuk mengembalikan keseimbangan alam yang terganggu akibat terjadinya perbuatan "sumbang" yang dilakukan oleh pelaku. Saknsi tersebut lebih bersifat magis-religius sesuai dengan kepercayaan masyarakat adat. Sedangkan sanksi adat yang dijatuhkan oleh orang-orang Dewan Adat di kota bisa mencapai jutaan rupiah, yang sepertinya dibuat-buat, terlalu di "dramatisir". Sebagai orang Dayak asli, saya malah sedih melihat Hukum Adat Dayak dipermainkan oleh oknum-oknum yang mengaku "Pengurus Adat" di perkotaan! Sebagai orang Dayak, saya sendiri tidak tahu bagaimana mekanisme penunjukan Dewan adat di kota-kota. Yang jelas mereka tidak dipilih langsung oleh warga masyarakat adat Dayak. Dan saya tahu, bahwa di kota Singkawang dan Pontianak, realitas sosial kehidupan masyarakatnya pasti secara "de facto" tidak lagi berpegang pada Hukum Adat, khususnya yang menyangkut tindak pidana. Sanksi hukum adat dapat saja dijatuhkan pada si pelaku sebagai hukuman tambahan atas perintah Hakim, bukan oleh Dewan Adat yang sebetulnya bukan pengurus adat asli menurut Hukum Adat Dayak. Dewan adat di kota menurut pendapat saya lebih sebagai "organisasi sosial" untuk mengembangkan nilai-nilai budaya Dayak serta melakukan advokasi terhadap hak-hak masyarakat adat di tengah-tengah modernisasi saat ini. Dewan Adat biasanya diisi oleh kaum intelektual Dayak di kota yang mungkin tidak dikenal oleh masyarakat adat Dayak di kampung-kampung!!!
Baca Selengkapnya......

Burung Keto

Keto adalah sejenis burung yang dipercaya oleh orang dayak sebagai penanda atau pemberi isyarat sebelum melakukan aktivitas. Dinamai burung KETO karena kicaunya yang berbunyi KETO...........Burung ini masih banyak terdapat di hutan Kalimantan Barat terutama di daerah-daerah yang masih asri dengan hutan-hutan lebat. Burung ini sebenarnya biasa saja, namun dalam memberi isyarat alam sangat berpengaruh bagi kepercayaan orang dayak terutama orang dayak kanayatn.
Pertanda yang sangat berpengaruh jika burung ini berkicau adalah apabila pada saat orang dayak ingin melakukan kegiatan bercocok tanam, melakukan perjalanan atau melihat rejeki pada saat nyangahatn (wujud doa orang dayak kanayatn kepada Jubata atau Tuhan).

1.Pada saat bercocok tanam,
sebelum melakukan aktivitas ini terlebih dahulu melakukan semacam doa yang biasanya di akhiri dengan mendengar kicau burung Keto.

2.Pada saat ingin melakukan perjalanan,
jika burung ini berkicau sangat berpengaruh bagi keselamatan Talino atau manusia, biasanya arah dimana burung ini berkicau mempunyai makna berbeda. Jika burung ini berkicau sebelah kiri maka mempunyai makna bahwa perjalanan hendaknya ditunda sampai burung ini selesai berkicau,jika dilanggar maka akan aa bahaya yang mengintai diperjalanan yang akan kita tempuh, jika sebelah kanan maka mempunyai makna baik.

3.Pada saat nyangahatn atau melakukan doa,
jika burung ini berkicau pada saat sedang berlangsungnya doa atau sudah selesai maka itu merupakan pertanda baik bagi doa yang kita panjatkan paa Jubata atau Tuhan.

Tak hanya hal-hal tersebut diatas yang membuat burung ini menjadi istimewa bagi orang dayak Kanayatn tapi masih banyak hal lain yang berhubungan langsung maupun tak langsung bagi adat-istiadat orang dayak Kanayatn. Burung ini bagi orang dayak kanayatn merupakan simbol pertanda alam yang tidak bisa dibantah oleh kekuasaan manusia karena semua kehidupan orang dayak tidak terlepas dari alam semesta
Baca Selengkapnya......

Senin, 29 Maret 2010

Sekilas Tentang Ruai



Nama latin : Argusianus argus
Nama lain : Ruai, Kuau Besar

Burung ini mudah sekali dikenal karena memilki bentuk tubuh yang indah dan spesifik. Tubuh yang jantan lebih besar dan berbulu dengan corak yang lebih menarik daripada yang betina. Berat yang jantan dapat mencapai sekitar 11,5 kg dan panjang tubuhnya sampai ujung ekor mendekati 2 meter. Hal ini disebabkan oleh dua lembar bulu ekornya bagian tengah mencolok sekali panjangnya. Umumnya bulu tubuh berwarna dasar kecoklatan dengan bundaran-bundaran berwarna cerah serta berbintik-bintik keabu-abuan.


Kulit di sekitar kepala dan leher pada yang jantan biasanya tidak ditumuhi bulu dan berwarna kebiruan. Pada bagian occipital (bagian belkang kepala) betina mempunyai bulu jambul yang lembut. Paruh berwarna kuning pucat dan sekitar lobang hidung berwarna kehitaman. Iris mata berwarna merah. Warna kaki kemerahan dan tidak mempunyai taji/susuh.



Suara burung ini sangat lantang sehingga dapat terdengar dari kejauhan lebih dari satu mil. Suara yang jantan dapat dibedakan karena mempunyai interval pengulangan yang pendek. Sedangkan yang betina suaranya mempunyai pengulangan dengan interval semakin cepat dan yang terakhir suaranya panjang sekali. Burung ini mempunyai suara tanda bhaya yang cirinya pendek, tajam dan merupakan alunan yang parau.

Burung ini suka hidup di kawasan hutan, mulai dari dataran rendah sampai pada ketinggian sekitar 1.000 m dpl. Penyebaran burung ini adalah di Sumatera dan Kalimantan. Juga terdapat di Asia Tenggara. Makanannya terdiri dari buah-buahan yang jatuh, biji-bijian, siput, semut dan berbagai jenis serangga. Burung ini juga suka mencari sumber air untuk minum sekitar jam sebelas siang.

Burung ini bertelur yang biasanya berjumlah dua butir, warna telurnya krem atau kuning keputihan dengan bercak-bercak kecil diseluruh permukaan. Ukurannya sekitar 66 x 47 mm. Telur ini dierami oleh betina selama kurang lebih 25 hari. Anak burung ini akan mencapai tingkat dewasa kurang lebih dalam satu tahun.


Bulu burung ini oleh masyarakat suku Dayak dijadikan sebagai salah satu bagian dari pakaian adat mereka terutama mahkota ( tangkulas (bahasa kanayatn) ). Sedangkan di Sumatera Barat burung ini menjadi icon daerah mereka.

Kerusakan hutan di Kalimantan memaksa penyebaran burung ini berkurang drastis. Selain itu perburuan oleh kolektor dan tidak adanya penangkaran dari masyarakat sekitar membuat burung ini semakin langka. Mungkin nanti suatu saat burung ini akan punah dan tinggal cerita saja mengenainya.








Baca Selengkapnya......

Jumat, 19 Maret 2010

Bujakng Nyangko

Ka’ Radakng ka’ kampokng Angus, idup saeko’ dara nang dah tuha damanya Dayakng Gulinatn. Ia idup babaro, adi’ baradi’nya dah manyak nang panganten ka’ kampokng ngian. Ka’ sote’ malam ia bamimpi dingatakngi seko’ bujakng nang baik atinya. Bujakng koa lumpat ka’ langit, man takiji’ ka’ ia. Nyamare’atn kokotnya ka’ dayakng Gulinatn.
“ Sae damanyu? “ Janya.
“Aku Dayakng Gulinatn, sae ge’ kita’?”
“Santak Mataari dari Sapangko Kanayatn”
Sirage bujakng tadi nyabutatn damanya, ujatn aya’ turutn man late’. Dayakng Gulinatn takajut. Ia nau’an kade’ dah bamimpi dingatakngi bujakng tarigas.
“Sidi gagasa’ idupku ngian kade’ ia jaji kasihku” ja Dayakng Gulinatn.

Ampaginya ia takanang agi’ man bujakng koa. Na’ ada nang ia mikiri’, makin reho atinya man mimpinya koa. Biar ina’ panganten, ia babuntikng.
“dono’… aku babuntikng?” janya sambil ngeak kagali’anan ba dangan man nana’ nau’an sae apa’ kamuda’nya koa. Biar leakoa ia pihara buntikngnya. Sambilan bulatn sapuluh ari lahir uga’ kamuda’ koa sirage man ujatn aya’ ba late’ ngantak. Ujatn ngian bai’ baranti, makin ari makin miah darasnya.

Urakng sakampokng bakomo’ mapakatatn ahe nang mao’ dipanjoat jukut ujatn bai’ baranti.
“ Au’nya ada sote’ pakara ka’ kampokng diri’ ngian “ ja urakng tuha nang ngapalai’ bakomo’ koa
“ Au’ dara nang lain ngalahiratn tapi na’ lea Dayakng Gulinatn. Antah ngahe ujatn bai baranti..” ja seko’ nang lain.
“ Kade’ lea ngian tanya’an ka’ Dayakng Gulinatn….” Ja ayukngnya nang lain.
“Ame, ana na’ nyaman ba kampokng sabalah… nyaman diri’ notokng. Sae nau’an kapala kayo nang di nyimpan ka’ tingaatn rumah koa bera ka’ diri’” ja kapala komo’ tadi.
“Au’lah kade’ lekoa panjoat ampeatn paraga notokng koa.”
“ Je’ lah……” ja nang lain.
Malam koa uga’ di milihi’ sigana dangan nang ngurusi’ adat notokng koa. Tuha muda’ aya’ enek, laki binian, manto nyiapatn adat notokng. Tampatnya ka’ laman radakng. Laka’ notokng ujatn masih bai’ baranti. Dayakng Gulinatn pun nana’ katele’atn ka’ acara koa.
“Coba incakng Dayakng Gulinatn ka’ kea boh Palapi”
“Au’” ja Palapi sirage mulakngi’ Dayakng Gulinatn. Gulinatn kaluas dari kilamunya, bakomo’ man dangan ka’ adat koa. Supe’ supe’ ia nari ngakeser barrage dangan sakampokng. Lupa Ia kade’ kamuda’nya nya ningalatn ka’ kilamu. Samuanya repo nele’ kapanean Dayakng Gulinatn nari. Ujatnpun baranti, baganti man darakng ( ujatn darakng ).

Nele’ kapanean dayakng gulinatn, santak mataari gangatar dalapm atinya. Ia dah ngidaman ihanya ka’ dayakang gulinatn kaluar dari kilamunya. Ia ngian maok ngicaknga’ dayakng gulinatn ka’ nagarinya, nang badama sapangko. Pas dayakng gulinatn ina’ nauan, santak mataari naap ia lalu nya ngicakng tarabakng ka sapangko.

Nele’ dayakang gulinatn dinaap, urakng kampokng bera. Palapi nyambar mandonya, ngibasa’ santak mataari. Nele’ leakoa, santak mataari dari, tarabakng. Ia ina’ jadi ditaap.

Aka’ dayakng gulinatn ngampusi’ ambeknya, gali’ ia ditaap uga’. Ambeknya ngian nya mihara gagas-gagas. Dah sangahe ari, ia batalah. Nya nalah nyangko kamenakatnya koa. Kasih sidi ia ka kamuda’ koa, gi’ enek dah inak bauwe’. Urakng kampokng repo ka nyangko, jukut pane tarabakng man rehatn kokot. Ia ina’ repo nele’ urakng kampokngnya kodo. Sangahe kali kampokngnya dinyarakng kayo, nyangko nyalamatatn man baasil ngusir kayo. Repo urakng kampokng ka ia batambah. Salama lima balas tahutn ia mihara anak dayakng gulinatn. Nele’ kamenakatnya dah aya’, nu’ tuhanya bacurita kade’ uwe’nya dinaap urakng sapangko. “ sabanarnya kao ada ba uwe’. Apa’ nyu aku ugak ina’ nau’an “ nu’ tuhanya mulai’ bacurita. “ saat kao dimaranakatn, ari ujatn tarus-manarus, siakng ari malaman. Nele’ lea koa, urakng kampokng ngadaatn adat notokng. Samua banariatn, uwe’ nyu uga’. Karepoatn nari, ia ina’ sadar kade’ ada nang maok nabanana’nya. Ia dinabanan santak mataari ka sapangko “ curita nu’ tuhanya ka anak dayakng gulinatn.

Nangar curita koa, nyangko maok ngampusia’ uwe’nya. Mao’ sidi ia batamua’ ba ia. Nya matakatn niatnya ngian ka nu tuhanya. “ sampe dimae aku tatap ampusa’ ka sapangko, ngampusia’ uwe’ku “ janya babatak.

“ kamile ba kao ampusa’’ “, ja nu tuhanya batanya’.
“ ampagi alapm ” ja nyangko.

Alapm-alapm, nu tuhanya dah nyiapatn bahata nyangko. Nele’ dah siap, nyangko tarabakng ka sapangko. Sakali nangkot, ia dah sampe ka sapangko.

Santak mataari ngaruah pumputn, manyakng sidi ia namu ikatn. Satingkalakng ikatnya nya ngicakng pulakng. Karepoatn, ia kalupaatn ka urakng tumpuk. Ia ina’ nau’an nyangko dah atakng katumpuknya ngampusi’ uwe’nya.
Uwe’ nya takajut nau’an ada kamuda’ ampus ka ia. “ sae kao ngian ? “ janya batanya’. “ aku nyangko “ ja kamuda’ koa. Aku ampusa’ ka uwe’ku. Dah lama kami ina’ batamu. Jan nyangko.
“ sae uwe’nyu koa “ tanya’ nang bini koa.
“ damanya dayakng gulinatn, ia de’e dinabanan santak mataari “ ja nyangko agi’.
“ o..kade’ leakoa, akulah uwe’nyu koa “ ja nang bini koa.
Nauan dah batamu ba uwe’nya, nyangko nangis. Uwe’nya nangis ugak. Nya dua ngeak. Dah lakak ngeak, nyangko batanya’ ka we’nya.
“ ka’mae pa’ku ? “
“ ia ampus ngawah pumputn. Sabantar agi’ ia pulakng “ ja we’nya.

Dah atakng ka tanga’ tumpuknya, ia nele ada urakng barahu, gik muda’ sidi.

“ ngahe kita’ keatn ? “ janya batanya’.
“ aku ngampusi’ apa’ku man uwe’ku “ ja nyangko.
“ eee..nangkoalah apa’nyu “ ja dayakng gulinatn babatak ka nyangko.
“ ame doho’. Sae ge’ kamuda’ ngian? Ame pucaya’ doho’ “ ja santak mataari ka’ bininya. Manas ia kabininya kalamun pucaya’ ka urakng barahu dinganal.

“ o..ia ngian anakku nang kuningalatn dee ka dalapm kilamu. Aku gik nape’ sampat naapnya, kao dah naikatn aku ka keatn “ ja dayakng gulinatn.

“ kadek leakoa, gagaslah. Diri’ barajaki ugak batamu ba ia . E.. Kao, nyangko, makatn boh ikatn ngian kade kao batol anakku “ ja santak mataari nele nyangko. Nyanaap ikatn patukng nang ayaknya ampat jari’. “ ngian, talatn bolat “ janya. Ia maok munuha’ nyangko.

Nyangko naap ikatn patukng koa, nya nalatn. Nalos. Ua’ ngian ikatn patukng. Nalos. Da’ paknya ngelengan kapala nele’ nyangko labih pane darinya..

“ kade’ leakoa, kao batol anakku “ janya. Lalu nya nyuruh nyangko mabala ikatn nang nya namu. Uwe’nya tukang suman. Dah masak, ikatn nya makatn batiga. Dah laka’ makatn, “ ampagi dirik mantokng lintongan “ ja kata paknya nele nyangko.
“ au’ lah “ ja nyangko.

Nyangko singaja nya maba ka tampat tadukng nang ayak ransukng. Nyangko inak nauan ka rancana apaknya. Jadi iapun mao’ maan ampus. Ka maraga, apa’nya doho’ bajalatn. Nyangko namui’ manyak sidi tadukng nang ayak-ayak nya nyahuru. Apaknya karepoatn, mati kao nyangkoa ja paknya kadalam ati. Tadukng nang sidi aya’ bakata ka nyangko “ kao ame gali’ ka dian boh nyangko “. Ja tadukng koa.
“ auk lah..” Ja nyangko.
Nyangko nya mare’ saconekng panawar racutn.
Dah lama bajalatn, nya nelek nyangko inak diahe-ahe. Sabantar-sabantar nyamaleki’ anaknya koa. dingelengan kapala agi’ di pa’nya. O..janya, ngian ina’ batol. Kade’ leakoa, ampagi kubaba ka sarakng legoh ia, ja paknya dalapm ati.

Dah atakng katumpuk, apaknya babatak kabininya.
“ ampagi kami badua ampus bajalatn agik. Kunele’, anak diri’ koa repo bajalatn ka abut-abut “ ja santak mataari nele’ bininya.
“ kade’ gagas, ampuslah. Ati-ati maan “ ja bininya.

Ampaginya, nyangko dipa’nya maba agi’ bajalatn. “ diri’ ngago’ karake’ . Pula’ karake’ koa ada ka sarakng legoh. Kao barani naapnya ? “ janya ka nyangko. “ auklah, aku barani “ ja nyangko.
Dah atakng ka tea’ karake’, nyangko nele’ manyak legoh nang garang, aya’ agi’nya. Pane nya rantak aku, ja dalapm ati nyangko. Apa’nya mikiri’, nyangko mati diramuk legoh. Ahe agik ia atakng kasarakngnya. Ngatangan gigi kapangorek , ja dalapm ati paknya.

Ina’ nya nyangka, legoh repo ugak ka nyangko. “ ame kao gali’ boh, nyangko. Kami ina’ ngahe-ngaheatn kao “ ja kata legoh nang sidi aya’.

Nele’ lea koa, apa’nya ngelengan kapalanya agi’. Inge nyangko dah barinsi’, lalu nya maba apa’nya pulakng.
Dah atakng katumpuk, apa’nya bakata ka nyangko “ ampagi dirik ngago’ gamer boh “ . Uwe’nya dah ngarati ka dalapm ati lakinya. Ia bakata ka nyangko. Ati-ati boh nyangko. Nau’an leakoa, nyangko mangap. Karana ia barani, ia repo maan dimaba apaknya naiki’ gamer ka pucuk binuang nang ada uanyi’nya.

Alapm-alapm apa’nya dah ngalumpatatn nyangko. Nya dua bajalatn ka’ udas nang manyak uanyi’nya. Nya nele ka pucuk binuang nang sidi tingi ada gamer nang gagas. “ kao naik boh, apa’ nunggu ka babah “ ja paknya nele nyangko. Nyangko nuruti’ kata apa’nya. Ia naik maan ka pucuk binuang ngkoa. Dah atakng kapucuk, uanyi’ bakata “ kao ame gali’ ka kami boh, nyangko. Kami inak ngarusuhi’ kao. Ngian aku marek pihamakng naik “ ja uanyi nang aya’.

Nele’ ina’ ahe-ahe, apaknya sakali agik ngelengan kapala. Jago sidi kamuda’ ngian. Ampahe agi’ kanyangian. Ja dalapm atinya. Dah barinsi’ ingenya, nyangko turutn. Ia maba apa’nya pulakng ka’ tumpuk.

Dah atakng ka tumpuk, apa’nya maba nyangko balajar bakayo. “ dirik sangkarumangan ampagi “ janya bakatan ka nyangko. Nyangko si kateleanan repo-repo maan ka kamao’an apa’nya ngian.

Dah gumare’ abut, santak mantaari maba ayukng-ayukngnya. Nang badama catek pak caneng, bias pak rega, guranikng, man pak lonos. “ ampagi dirik bakayo “ ja santak mantaari bakata ka catek pak caneng.. Catek pak caneng repo dimaba bakayo koa. Ia maba ayukng-ayukngya uga’.

Dah alapm ari, santak mantaari man nyangko dah bakamas. Nya nongkekng otot ( lea tingkalangk, yak nampat kapala ), bangkiraburayakng man tangkitn. Atakng ka tamat sangkarumengan koa, nya natak buluh bala nang ayak batis. Sakali nyintak, buluh bala koa putus. “ nyangko, kao putusatn buluh bala ngian “ ja apaknya nelek nyangko. Nyangko nyintak tangkitnya, putus ugak buluh bala koa. Apaknya ngelengan kapala agi’. O.. Kadek leakoa, diri’ singkubangan. Jakatanya ka nyangko. Nyalima nyingkubakngi sunge nang ayak. Nya ampat, kateleatn inak sampe nyingkubakngi sunge koa. Nyangko, sakali nyingkubakng, sampe ka subarang sunge.

“ kade’ leakoa, talu ari talu malam agik diri’ ba lima ngayo ka timpurukng pasuk, ka lamak bagelah, ka akar inak ditatas, ka rabukng na disempok. “ ja santak mantaari ka ayukng-ayukngya.

Dah samak ari nang dinantuatn koa, nya lima manjoat padupuh man mato’ batalo’. Dah siakng abut, jakata santak mantaari “ diri’ ampus “. Nya lima ampus, batuna’-tuna’an. Nele pamainan apaknya, nyangko batol-batol mao’ nele’atna’ ka jagoatnnya ka na’ apaknya man ayukng-ayukngnya. Ia nyangi’ik talo’, nya macahatn ka tomokngnya. Ia babatak sakit parut ka apaknya. “ aku ina’ ampusa’, ampus ma’an kita’ boh. Aku ampeatn sakit parut kaja bariha’. Aku nunggu ka padupuh maan “ janya. Nyangko nyangi’i’ parutnya, nya nelek dipaknya lubakng tomokng nyangko badarah, balander.
“ o..kadek lea koa kao ina’ baguna. Kade’ lea ian, kami barampat nang ampus “ ja apa’nya.

Nya ampat ampus, bajalatn bairihatn. Nele’ da’ paknya dah barangkat, sakali nyingkubakng nyangko dah sampe ka tampat nang dinuju apaknya man ayukng-ayukngya. Ia nyancakng kayo. Abis nya nyancakng, nya ngicakng kapala nang aya-aya’. Nya ningalatn manyak kapala nang enek-enek aya’ guminting. Ia nangkot agik, pulakng ka padupuh.

Inak lama, apaknya atakng ka tumpuk nang maok dikayo. Dinyanele’ batuma’engan bangke. Nya ngukus kapala-kapala.

Nyangko manjoat diri’nya bagurikng-gurikng agik ka padukuh laka’ nyancakng kayo.

Laka’ ngukus kapala kayo, apa’nya pulakng ka padukuh.
“ koa tele’, inak tauba’ dikami kapala. Kao inak baguletek “ ja kata apa’nya ka nyangko.
“ o.. Nang aya’-aya’ kamae ? “ ja nyangko ka paknya.
“ antah kamae. Ngian ihanya nang kami namu “ ja catek pak caneng.
“ nu’ ku ian. Kapala pangalokngnya. Tele’lah, aya’-aya’ kan ? Ja nyangko. Kita’ dah motek lalaku ngayo…
Nya ampat mangap. Supe’ dinohoi’ nyangko.
“ ampeatn, diri’ pulakng ka tumpuk. Aku maok ngicakng uwe’ku ka dunia. Kadek kita’ bai’, ampeatn uga’ diri’ menak bakayo “ ja nyangko nele’ apa’nya. Apa’nya ina’ badimauh, ia gali’ ka’ nyangko.

Dah atakng ka tumpuk, nyangko babatak ka uweknya. Ia maok maba’a’ uwe’nya pulakng ka dunia talino. Uweknya mao’ ma’an. Dah alapm abut, nya dua turutn kadunia. Nyangko man uwenya lea talino agik.

****

Ka’ Pakana are’ ada idup Ne’ Ragen, dua laki bini. Bininya koa ina’ di tau’an damanya. Leakoa ihannya ja urakng nang pane pane.
Urakng tuha nang dua eko’ koa ugu’, ina’ baranak. Karaja Ne’ Ragen sa’ari arinya koa na’ ahe lain maranso, ngila’. Gumare’ sote’ ia ngila’ ka’babah kayu ara. Nya nangar ada suara kamuda’ ngeak ka’ pucuk kayu ara tadi.
Lalu nyanaringahatn tangis nang koa, nele’ ka’babah ka’pucuk urakng tuha koa. Rupanya kamuda’ koa anak urakng nang mati buju kadalapm pasira’. Kamuda’ koa mulakng idup agi’. Ada ada mao’ gali’a’ Ne’ Ragen tadi. Leanya kasih atinya nangar tangis kamuda’ koa.
“Iu……”Janya ”au’nya kamuda’ talino mulakng idup”
Badelnya nyangaranan ka’ tanah. Nya taiki’ kayu ara tadi. Nya nele’ sasidinya ihan kamuda’ nang koa gilabut gilabut. Lalu nyana’ap nyanurunan, nyangincakng pulakng, nyamihara ba bininya. Lama lama kamuda’ tadi nyanalah, nyanamai’ Do’akng. Dah cukup umurnya, iapun dimalak. Laka’ Babalak ngian Do’akng balala’ talu ari talu malapm. Koa ihanya adat Babalak : ia nana’ mulih bajalatn ka’mae mae, didalapm talu ari agi’ uga’ ia nana’ mulih makatn laok sial lea : pilanuk, kijakng, ganye, kambing, man sapi.
Kabatolatn ka’ talu arinya ataknglah pamujakng Laut Pakana ka’ rumahnya. Ne’ Do’akng pun masatni’ ia.
“Pamujaknga, aku madah kita’, kade’ lapar basuman maan ka’ dapur diri’ dikoa. Tapi ame nyuman kambing ato sapi. Kade’ nyumana’ jukut koa baik kita’ nyuman ka’ dapur lain. Kade’ bai’ ngasi’atn kataku ngian, awas me kita’, subali aku.
Ahe ihan me, Laut koa sidi bai’ ngasi’atn kata Do’akng. Tarus nyanyuman dendeng kambingnya dikoa. Pula’ Do’akng tidur babantal, batngkitn baransah, basumpit ipuh.
Aaah, ampahe waktu ia babuka’ nyida tatele’ ia ka’ Laut tadi, dah jadi kambing. Lupa atinya sabantar. Nyanyujut tangkitnnya, lalu nyamolak tage’ kambing koa. Lah bagi koa, dah putus unang tage’nyu kambinga. Tapi koa ihan, buke’ aku munuha’ talino Jubata’a, ga’ aku munuh laok. Ame ia madi’ mangka’ basalah babangkawar ka’ aku, karana ia dah mati di janji, di untukngnya.
Pamujakng tadi dah mati. Jaji nyamatakatn ka’ bangsa urakng tuhanya, ka’ kamar kapalanya, ia koa dah mati, ampakoa subur. Dah diuntung, dijanjinya koa.
Laka’ koa Ne’ Do’akng minta balajara’, bajalatna’ laki ka’ apa’nya. Minta’ dipanjoatatn kapoa’ bagambar, baju marote, otot baukir, jabakng, sumpit, man tangkitn. Apa’nya ngian mai’atnnya doho’. Lama lama nyanyuruhatn unang.
Sote’ ari nyanyiapatn bahatanya. Ari kadua ia mato’, minta barayukng man Kamang Nyangko, Kamang Lejak, man Kamang Nyado. Ahe ihan me, sidi gagas pamatak rasinya, pamadah pato’nya. Dadi alapm alapm ia ampus ngayo. Antah ka’ mae abut nang mao’nyanuju, saga’ bajalatn ia samao’ mao’ pahanya.
Atakng ka’ udas, duduk sabantar ia badokong. Manjoat jukut diampa’nya, nyarapaatn ka’ tajur, ka’gantekng,ka’ kayu nang aya’ , ka’bukit nang tingi, leanya bapadah bapadah, babatak ka’ Nyangko, ka’ kamang.
Na’ lama nyanangar notok muis ka’ udas nang koa. Ne’ Do’akng pun nyeok talu kali. Muis koa baturunani’ ka babah ngaggoi’ seok Do’akng. Ahe samak man ia muis koa mangka’ karasek, Ne’ Do’akng narik sumpitnya, nyanujuatn ka’ muis nang seko’ koa. Nape’-nape’atn ditapok muis koa mati lentakng lentakng. Sabantar koa uga’ atakng talu urakng, seko’ seko’nya bakata “aku nang nyumpitnya…!”
Tapi sae nang banar?
“ Kade’ leakoa, baparagaatn baik baik diri’ ampat madi’. Ampeatn Do’akng doho’ nang ampu’nya dosanyian.”, ja Bujakng Nyangko.
Lalu nya talu bajanji, “ ampagi alapm alapm diri’ ampat baanti’atn ka’ saka tumuk ampat. Kade’ ada nangar tariu tujuh kali, seok tujuh kali, man nguik tujuh kali, da’ gaceh atakng. Ari koa diri’ bajalatn barrage ngayo ka’ Timpurukng Pasuk, ka’ Lama’ Bagenakng, ka’ Jongong, Tanuk Tagukng, Dapeh Marada’i. ”
Ampagi alapmnya kadangaratn lea janji nang tumare’. Do’akng bakamas ampusa’ namui’a’ ayukngnya nang talu eko’ tumare’. Atakng dikoa, nya ampat madi’ ampus ka’ pangayoatn. Talu ari lamanya bajalatn, atakng uga’ ia ka’ uma urakng musuhnya. Dikoa nyanele’ rami urakng ka’ uma ale’atn.
Ka’ antara urakng nang balale’ tadi koa ada seko’ pamaliatn nang pane ngalumpat bangke, ngalamputn sengat. Ahe ba agi’nya, nya ampat munuhi’ urakng ka’ koa. Cuma kapala pamaliatn tadi nang dingincakng.
Dianlah Kamang ngajari’ adat bakayo. Do’akng dimasatn “ Sanape’ tama’ ka’ rumah, ame ditaikatn ka’ tanga’ pangarokng. Taikatn ka’ ujukng pante. Tari’atn dikoa, ame tama’ ka’ tinga’atn, nyorot sumpayatn. Kade’ naika’ didi jauh tariu, nyeok, man nguik/nguku tujuh kali.
Dianse’ timaga, diamparatn bide, ditungkutn kulita, didiriatn jampa nang balakar canang tampat maduduka’ gantongan nang dinoret nangko’ noret uga’ sabuah gantongan. Do’akng ngikuti’ jakata Kamang tadi, tapi Nyangko lupa man tampat amali’ , ia nari nyorot babah sumpayatn. Lalu lentakng lentakng ia mati. Bangkenya ngian Do’akng mihara sa’ari samalam, baru’ nyanyubur.
Dianlah Kamang ngajari’ bapantak. Leakoa ihan janya, “Taap riti tujuh jangkal, buliatn diukur bariti., dibibis ba sabungan calah, ditarah, ame dibalik balik, mulei’ dari kapala turutn ka’paha. Sabungan calah seko’ iso’ salamar, lagor sababak, pahat, baliukng, pangorek, babotn saloneng, samua ngian pangkaras bapantak.
Ahe ihan me, pulakng basubur, ia tariu sekali ampus natak pantak ja pantaka’ Kamang Nyangko tadi. Dah namu kayu buliatn, pulakng ia ka’ rumahnya, nyanaikatn, nyapanjoat ka’pante talu ari lamanya. Baru’ ditama’an kadalapm rumah gumare’ ari. Nyalangiri’, nyaminyaki’, man nya bare’ makatn. Laka’ nyamare’ makatn, nyanimang pantak tadi, tabah dau kaganjur, naikatn ka’ Ore’ Nyabukng, nari unang basamalaman pantak koa.
Baru’ Ne’ Do’akng nau’an ka’ adat urakng mati. Pulakng ia ka’ rumahnya, nya mare’ nau’an apa’nya adat urakng mati ngian.
Lama lama mati uga’ apa’nya ngian, jukut dah tuha. Nya nabo’ unang Kamang Nyado, “bisa ge’ ina’ talino dipantaki’?”
“ Bisa adatnya ngian sama baadat Kamang Nyangko”, ja Nyado. Lalu pulakng Do’akng manjoata’ pantak pa’nya. Laka’ nyangaraja pantak tadi, nyangalangiri’, nyaminyaki’, nyamare’ makatn, nya nimang uga’ lea Nyangko. Lalu nari ngakeser pantak pa’nya tadi ngian basamalaman. Kasih unang bini Ne’ Ragen tadi nele’ pantak lakinya nari ngakeser, lalu nya naap, nyangapakng, laka’ uunang pantak koa nari. Koalah sampe ampeatn pantak nana’ bisa nari agi’.
Nyian ihanya asal mulanya urakng Darat bapantak. Jakatanya Lumpat di Nyangko, Kamang Lejak, man Kamang Nyado, turutn ka’ Ne’ Ragen, Ne’ Do’akng sampe ka’ diri’, nang masih dimake sampe ampeatn.
Baca Selengkapnya......

Kamis, 18 Maret 2010

Alat Musik Kanayatn

Alat Musik Dayak Kanayatn

ka' dalapm tradisi Kanayatn ada 7 ote' alat bamusik nang dinganal. dari 7 koa cuma sangahe nang masih dimake. pamakeatnnya koa lea ngirikngi' Jonggan. Nian ada sangahe alat nang masih dimake lea :

1. Dau
Dau, kade' ka' urakng iban dinyabut tawak. Dau ngian diameter atas saba' 25- 28 cm, babahnya 24-27 man bolatan bujalnya koa diameternya 3-4 cm. dau biasa dinyabut uga' man amadakng.
Dau ngian dinele' dari cara maini'nya ada 2 :
Dau Uwe' ngian nang mare' dasar bunyi dau, nadanya babah.
Dau Anak ngian nang nuna'an dau uwe'. Ia mare' bunyi melodinya, nadanya tingi, manyak variasinya.

Dama Dau :
1. nang paling enek dinyabut Panangkekng. do nya saoktaf labih tingi dari dasar. dingaranan sabalah keba' rancakan
2. nang banada 6 dinyabut panuna'. Dingaranan sabalah panangkekng.
3. nang banada 5 dinyabut Panyantel. Dingaranan sbalah panuna'.
4. nang banada 3 dinyabut panimpak. Dingaranan sabalah Panyantel
5. nang banada 2 dinyabut Panarodot. Dingaranan sabalah Panimpak
6. nang banada 1 babah dinyabut Paninga'. Dingaranan sabalah Panarodot
7. nang banada 6 babah dinyabut Panodot. Dingaranan sabalah Paninga'
8. nang banada 5 babah dinyabut Pangantor. Dingaranan sbalah Panodot
Dau 1-4 dinyabut anak. sisa'nya Uwe'


2. Gadobokng
Gadobokng ngkoa gendang nang di ngapakng waktu maini'nya. Gadobokng dinabah ba dua kokot/langan. Gadobokng biasa dimake waktu Jonggan. diameternya saba' 35 cm man panyakng 55 cm.

3. Tuma'
Tuma' ngkoa badiameter bolat saba' 20 cm man panyaknya saba' 112 cm. maini'nya di merengan nuna'an tubuh diri'.

4. Kubeh
Panyakngnya 2 meter. man diameter saba' 40 cm. biasa dimake waktu notoknga'. Maksud aya'nya ngian biar urakng sakampokng nangar man nauan kade' notokng dah mao' dimulei'.

5. Ganakng
Lea Gadobokng, di maini' dua urakng. seko' maini' anak, nang lain uwe'nya. diameternya 20 cm. panyakngnya 50 cm

6. Agukng
ada 8 ote' agukng nang dinau'anni' di urakng Kanayatn :kakanong, kampo/babaneh, kanayatn, katukekng, katukokng, katukukng, agukng man wayakng.dar lapan ote' koa nang biasa dimake ialah :
1. Agukng diameter depan 53cm, balakakng 47cm, man bunjal/pencon 12,5 cm
2. Katuku' diameter depan 49,5, balakang 42,5, man penconnya 12
3. Katukekng diameter depan 39,5 , balakang 35, penconnya 9,5
nada agukng sol babah, katuku' do, man katukekng mi.

7. Solekng
Dimanjoat dari buluh solekng. ada 2 ote' solekng :
1. Solekng maniamas. solekng nang buku'nya dingaraut man dingeneki' biar manjoat lubakng tiup. Pangkalnya dimare' buluh tipis ngalingkar sapanyakng bolat pangkal. Dimaini' cagat lea ampeatn
2. Solekng sabak. Solekng nang biasa dimaini' ka' jonggan. Panyakngnya 45 cm man diameter 2,5 - 3 cm.Dimake manjoat intro man coda ka' lagu.
Baca Selengkapnya......

Sape' dan Perkembangannya

Sape' dan Perkembangannya

Dalam kebudayaan Kanayatn, kita tidak mengenal sape' sebagai alat musik tradisional. Tetapi seiring waktu dan proses asimilasi masyarakat, akhirnya sape' juga dikenal oleh masyarakat Kanayatn. Tetapi tetap bukan bagian dari budaya Kanayatn itu sendiri. Tidak ada salahnya kita ulas sedikit tentangnya....

Sujarni Alloy, peneliti Institut Dayakologi mengungkapkan, sape adalah sebuah mitologi dalam masyarakat Dayak. Keberagaman suku bangsa, semakin menambah ciri khas seni dan budaya bermusik. Ia menyebut Dayak Kayaan dan Kenyah yang memiliki kekhasan bermusik dengan tiga dawai itu.
Dayak Kayaan yang mendiami Kalimantan, baik di Sungai Mendalam, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Sungai Mahakam, Sungai Kayaan dan sekitarnya di Kalimantan Timur dan Sungai Baram, Telaang Usaan, Tubau dan sekitarnya Serawak-Malaysia, memiliki seni musik yang unik.

Suku ini cukup besar. Dalam groupnya ada berbagai subKayaan, antara lain Punan, Kenyah dan Kayaan sendiri. Suku ini memiliki alat musik yang dinamakan sampek (orang Kayaan menyebutnya Sape’). Sape’ adalah musik petik yang tidak asing lagi di mata para pelagiat seni baik di Indonesia maupun Sarawak-Malaysia.

Musik sape’ yang dimiliki oleh Dayak Kayaan terdiri atas dua jenis. Pertama, berbadan lebar, bertangkai kecil, panjangnya sekitar satu meter, memiliki dua senar/tali dari bahan plastik. Sape jenis ini memiliki empat tangga nada. “Orang kerap menyebutnya sebagai sape Kayaan, karena ditemui oleh orang Kayaan,” kata Alloy.

Sementara satunya berbadan kecil memanjang. Pada bagian ujungnya berbentuk kecil dengan panjangnya sekitar 1,5 meter. Orang menyebutnya dengan sape’ Kenyah, karena ditemui oleh orang Kenyah. Sape’ ini memiliki tangga nada 11-12. Talinya dari senar gitar atau dawai yang halus lainnya, tiga sampai lima untai.

Dari kedua jenis sape ini, yang paling populer adalah Sape’ Kenyah. Karena irama dan bunyi yang dilantunkannya dapat membawa pendengar serasa di awang-awang. Tidak heran pada zaman dulu, ketika malam tiba, anak muda memainkannya dengan perlahan-lahan baik di jalan maupun sepanjang pelataran rumah panjang, sehingga pemilik rumah tertidur pulas karena menikmatinya.

Dengan kekhasan suaranya, konon menurut mitologi Dayak Kayaan, Sape’ Kenyah, diciptakan oleh seorang yang terdampar di karangan (pulau kecil di tengah sungai) karena sampannya karam di terjang riam. Ketika orang tersebut yang sampai hari ini belum diketahui siapa sebenarnya, bersama rekan-rekannya menyusuri sungai, diperkirakan di Kaltim.

Karena mereka tidak mampu menyelamatkan sampan dari riam, akibatnya mereka karam. Dari sekian banyak orang tersebut, satu di antaranya hidup dan menyelamatkan diri kekarangan. Sementara yang lainnya meninggal karena tengelam dan dibawa arus.

Ketika tertidur, antara sadar dan tidak, dia mendengar suara alunan musik petik yang begitu indah dari dasar sungai. Semakin lama dia mendengar suara tersebut, semakin dekat pula rasanya jarak sumber suara musik yang membuatnya penasaran.

Sepertinya dia mendapat ilham dari leluhur nenek moyangnya. Sekembali ke rumah, dia mencoba membuat alat musik tersebut dan memainkannya sesuai dengan lirik lagu apa yang didengarnya ketika di karangan. Mulai saat itulah Sape’ Kenyah mulai dimainkan dan menjadi musik tradisi pada suku Dayak Kenyah, hingga ke group Kayaan lainnya. Kini Sape” Kenyah itu bukanlah alat musik yang asing lagi.

Ketika acara pesta rakyat atau gawai padai (ritual syukuran atas hasil panen padi) pada suku ini, sape kerap dimainkan. Para pengunjung disuguhkan dengan tarian yang lemah gemulai. Aksessoris bulu-bulu burung enggang dan ruai di kepala dan tangan serta manik-manik indah besar dan kecil pada pakaian adat dan kalung di leher yang diiringi dengan musik sape’.

Musik ini dimainkan oleh minimal satu orang. Bisa juga dua atau tiga orang, sehingga suaranya lebih indah. Jenis lagu musik sape’ ini bermacam-macam, biasanya sesuai dengan jenis tariannya. Misalnya musik Datun Julut, maka tariannya juga Datun Julut dan sebagainya.

Ada beberapa jenis lagu musik sape’, di antaranya: Apo Lagaan, Isaak Pako’ Uma’ Jalaan, Uma’ Timai, Tubun Situn, Tinggaang Lawat dan Tinggaang Mate. Nama-nama lagu tersebut semua dalam bahasa Kayaan dan Kenyah.

Cara pembuatan sape’ sesungguhnya cukup rumit. Kayu yang digunakan juga harus dipilih. Selain kayu Pelaik (kayu gabus) atau jenis kayu lempung lainnya, juga bisa kayu keras seperti nangka, belian dan kayu keras lainnya.

Semakin keras dan banyak urat daging kayunya, maka suara yang dihasilkannya lebih bagus ketimbang kayu lempung. Bagian permukaannya diratakan, sementara bagian belakang di lobang secara memanjang, namun tidak tembus kepermukaan.
Untuk mencari suara yang bagus maka tingkat tebal tipisnya tepi dan permukannya harus sama, agar suara bisa bergetar merata, sehingga mengehasilkan suara yang cekup lama dan nyaring ketika dipetik.

Menurut V. Aem Jo Lirung Anya, seorang pemusik sape asal Dayak Kayaan Sungai Mendalam, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, tidak jarang pembuat sape’ selalu salah untuk menentukan mutu dari suaranya.

Sedangkan cara memainkannya, jelas berbeda dengan cara memainkan melodi gitar, karena jari-jari tangan hanya pada satu senar yang sama bergeser ke atas dan bawah. Para pemusik ketika memeinkan sebuah lagu, hanya dengan perasaan atau viling saja.

Untuk sementara ini belum ada panduan khusus yang menulis tentang notasi lagu musiknya. Rekaman Musik sape’ ini bisa di dapat seperti Sarawak, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, dalam bentuk kaset tape recorder maupun Compact Disk.

Saat ini sape’ tidak saja bisa dimainkan sendiri bersaman dengan musik tradisi lainnya, tapi juga dapat dikolaborasikan dengan musik modern seperti organ, gitar bahkan drum sebagai pengganti beduk. Saat ini sape’ dapat dibeli di toko kerajinan, hanya saja kebanyakan dari sape’ tersebut sudah tidak lagi asli dan bermutu, bahkan tidak lebih dari fungsi pajangan belaka
Baca Selengkapnya......