Oleh Yohanes Supriyadi
Sebelum membahas fenomena komunitas adat lebih lanjut, saya ingin menegaskan bahwa kekuasaanlah yang akhirnya menetukan arah perkembangan sosial manusia. Sejak kapan kekuasaan menjadi simbol eksistensi manusia ? menurut Karl Marx, eksistensi manusia dapat dilihat dari kekayaan materi yang dimilikinya. Semakin kaya seseorang semakin mendapat penghargaan, penghormatan dan ditinggikan derajatnya. Materi inilah yang menyebabkan manusia membangun stratifikasi, antara yang kaya dan miskin. Rene Descartes, filsuf perancis mengatakan cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada). Sampai sekarang, pendapat Rene ini dipakai manusia untuk mengatakan dirinya ada. Deddy Mulayan, merujuk Thomas M Scheidel, menyebutkan bahwa aktivotas komunikasi juga menjadi instrumen untuk menyatakan eksistensi diri, sehingga berlaku pameo “ saya berbicara, maka saya ada”. Bila kita berdiam diri, orang lain akan memperlakukan kita seolah-olah kita tidak eksis. Namun ketika kita berbicara, orang lain akan memperlakukan kita seolah-olah kita ada.
Penguasaan atas akses dan aset sumber eksistensi ini dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa sumber-sumber yang diperebutkan relatif statis, sementara manusia yang memperebutkannya semakin banyak, tensu saja juga sama dengan kebutuhannya. Hal ini membuat manusia masuk dalam aktivitas kopetisi yang sangat ketat. Barangsiapa yang menguasai aset sumber daya tersbeut, ia akan tampil menjadi ”pemimpin” yang mempunyai kekuasaan mengatur, mengendalikan dan mendistribusi. Cara kerja kekuasaan dalam proses sosial inilah yang kemudian melahirkan praktek hegemoni. Kekuasaan lebih lanjut berarti kemampuan atau kesematan untuk menjalankan dan mengatur interaksi masyarakat. Secara politik, kekuasaan identik dengan sistem pemerintahan negara. Namun, dalam kehidupan konkrit, kekuatan terjelma dalam pelbagai macam lembaga dan kegiatan. Kepala desa mempunyai tangan-tangan yang mengatur jalannya pemerintahan berdasarkan perintah birokrat ”diatasnya”, para pemuka agama mempunyai kekuasaan dalam menggerakkan umat untuk bertindak menurut pola agama, dan para tetua adat mempunyai kekuasaan untuk menggerakkan umatnya untuk bertindak menurut adat dan taat pada hukum adat serta melindungi wilayah adat, sesuai ajaran leluhur. Persaingan dalam memperebutkan pengaruh itulah indikasi cara kerja kekuasaan, karena kekuasaan selalu ingin memperbesar pengaruhnya.
A. Pergulatan identitas; menuju unifikasi etnik
Pasca hancurnya kekuatan pemerintah Orde Baru, komunitas adat di Kalimantan Barat merasakan betapa pentingnya adat dalam mengawal ”proses” kehidupan selanjutnya. Sungguhpun sempat terjatuh dalam aksi kekerasan rasial selama kurang lebih 100 tahun, komunitas adat dengan dukungan para intelektualnya di partai politik dan LSM, mulai menapak hari-harinya dengan penuh keyakinan, bahwa bagaimanapun juga adat tetap menjadi pilihan terbaik ditengah terpuruknya moralitas bangsa diabad modern saat ini. Namun, membangun gerakan ini ternyata tidaklah mudah. Selain kurang solidnya pemimpin mereka, juga telah hancurnya kelembagaan lokal, yang telah menjadi acuan selama ini melalui politik unifikasi hukum atas nama desa.
Secara kasat mata, gerakan kembali ke adat dimulai pada pertengahan tahun 1985. dimana, pada tahun ini, identitas suku-suku kecil sebagai komunitas adat yang bertebaran pada 4 kabupaten di Kalimantan Barat muncul. Dulu, suku-suku kecil ini menamakan dirinya beradarkan nama tempat tinggal atau persekutuan hukum yang dibangun nenek moyang mereka. Namun, ditahun ini pula, identitas itu mulai diangkat kembali. Mereka bertanya-tanya, siapakah kami sebenarnya ? Siapakah suku Dayak Kanayatn itu ? untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan ini, kembali saya membolak-balik berbagai literatur. Saya menemukan sebenarnya tidak banyak literatur yang menunjukan secara detail keberadaan suku Kanayatn di Kalimantan, bahkan dibeberapa hasil penelitian “orang Barat“ tidak ada satupun yang menunjukan dengan tegas “ Kanayatn”. Kata Kanayatn secara jelas terdapat dari tulisan Pastor Donatus Dunselman OFM.Cap tahun 1949 dengan judul “Bijdrage Tot De Kennis Van Detaal En Adat Der Kendajan-Dajaks van West Kalimantan“. Ia melakukan penelitian di Desa Tiang Tanjung Mempawah Hulu yang dekat dengan desa-desa orang Bakati’ ( Jirak, Sebangki, Timpurukng ) dan desa-desa orang Banyadu’ (Pentek, Semade, Parigi). Menarik bahwa dikemudian hari, hasil penelitian Dunselman ini diadobsi secara menyeluruh oleh kalangan elit politik Dayak yang mengidentifikasikan dirinya sebagai “Kanayatn“ pada tahun 1980-an. Mungkin ini bagian dari kepentingan untuk memperluas basis politik dan kekuasaan ( politik unifikasi) mereka, yang kalau dilacak merupakan politik khas Orde Baru. Para elite Dayak ini menyepakati bahwa orang-Dayak yang tinggal dipedalaman bagian utara dan selatan Kalimantan Barat sebagai Dayak Kanayatn, sebuah identitas baru pada suku ini.
Dalam kacamata sejarah bangsa ini, Stanley Karnow, seperti dikutip Simon Takdir, 2003, membuat peta perjalanan migrasi bangsa Austronesia dari daratan Asia menuju pulau Kalimantan melalui Semenanjung Malaya. Mereka memasuki muara sungai Sambas dan Salako (Selakau, menurut ejaan Melayu). Kelompok yang memasuki sungai Sambas kemungkinan besar bermukim dikaki bukti senujuh, dikawasan sungai Sambas Besar. Dikawasan ini dikemudian hari pernah berdiri kerajaan Sambas sekitar tahun 1291 dengan rajanya Ratu Sepudak, seorang yang telah beragama Hindu. Rakyatnya masih mengant agama tradisional. Apakah mereka iini merupakan keturunan dari kelompok yang bermigrasi itu ? untuk menjawab ini, seorang antropologi, Wonojwasito, 1957 menjelaskan bahwa jauh sebelum bangsa Austronesia bermigrasi diseluruh kepulauan Indoensia, kepulauan Indinesia termasuk Kalimantan telah ada penduduknya, yaitu bangsa Weddoide dan bangsa Negrito. Mereka mendiami lkepulauan ini sejarh zaman prasejarah dan kebudayaan mereka dinamakan kebudayaan Paleolitikum (Loebis, 1972), kebudayaan batu tua, karena mereka belum mengenal pemakaian alat dari logam. Namun begitu, penduduk lama ini telah lenyap sama sekali di Indonesia (Wojowasito, 1957). Kelompok Asutronesia yang bermukim dikaki bukit Senujuh ini, karena julahnya kecil, akhirnya hilang karena ditaklukan dan berbaur dengan penduduk yang lebih dulu datang kedaerah itu. Pembauran ini melahirkan nenek moyang suku yang disebut suku Kanayatn atau Rara dengan ragam-ragam bahasa mereka yaitu bakati’, ba nyam, dan ba nyadu’. Para penurut tiga bahasa ini masih mengerti bila mereka berkomunikasi dalam ragam mereka masing-masing. Menurut informan saya, kanayatn itu berada disebelah sana sungai atau jalan. Maksudnya yaitu suku Kanayatn berada disebelah utara sungai Salako/Selakau, didaerah Kinane, Subah dan sebagainya atau disebelah utara jalan raya. Barangkali ini sejalan dengan kata sanskerta/kawi yaitu Kanayatn berasal dari kata : Kana + Yana, atau Kana + Yani. Yang berarti Kana : sana, Yana : jalan, yani : sungai ( Prawiroadmojo, 1981 ). Jika benar, apakah secara etimologis nama Kanayatn berasal dari kata tersebut diatas, yaitu suku yang tinggal disebelah sana jalan atau sungai ?
Ditopang oleh kaburnya literatur yang menjelaskan secara detail keberadaan suku Kanayatn saat ini, maka saya mengamati sebuah organisasi yang mengatasnamakan Dayak Kanayatn, dibentuk pada tanggal 23 Maret 1985 yang bernama Dewan Adat Dayak Kanayatn. Walaupun masih terdapat simpang siur disana-sini tentang sejarah pembentukan organisasi ini, saya kemudian mengkaitkannya dengan kepiawaian para tokoh politik orang “Dayak”, pada awal Orde Baru. Mereka telah melihat peluang yang besar untuk menyatukan Dayak melalui satu kekuatan politik di Golkar, sebuah partai pemerintah. Konsekuensinya harus ada ikatan pemersatu, istilah 'Kanayatn' atau 'Kendayan'. Kemudian dimanfaatkan sebagai sarana pemersatu sub-suku Dayak di Kabupaten Pontianak dan Sambas. Misalnya diadakan Musyawarah Adat Dayak Kanayatn di Anjungan tahun 1985, yang melahirkan Gawai Naik Dango setiap tahun di Kabupaten Pontianak. Para politisi Dayak dari Golkar menggunakan istilah 'Kanayatn atau 'Kendayan' untuk mengumpulkan suara orang Banana'-Ahe dan varian sejenisnya yang mayoritas di Kabupaten Pontianak kala itu.
Untuk membuktikannya, ditemukan sebuah dokumen penting yang menyebutkan Kanayatn mulai “dipakai “ pada tanggal 23-25 Maret 1985, melalui Musyawarah Adat se-Kabupaten Pontianak di Anjungan. Pada akhir musyawarah, peserta sepekat untuk membentuk Dewan Adat Dayak Kanayatn Kabupaten Pontianak. Selama musyawarah, banyak peserta yang pro dan kontra atas istilah Dayak Kanayatn, untuk menyebut diri mereka. Seorang bekas peserta mengatakan kepada saya, bahwa ia tidak setuju ada pengelompokan suku Dayak. Menurutnya, Dayak akan kuat bila identitasnya tetap dipertahankan. Namun argumen itu tidak sama sekali muncul dimusyawarah, karena dilihatnya semua peserta orang-orang Golkar, yang ia kenal. Ia sendiri berterus-terang simpatisan sebuah partai non Golkar, yakni PDI. Pada akhir musyawarah ini, peserta memilih F. Bahaudin Kay, sebagai ketua umum DADK Kab. Pontianak. Ia adalah seorang Timanggong dari Binua Temila Ilir I –Pahauman. Inilah organisasi dayak pertama pada era Orde Baru dan secara resmi Kanayatn mulai diperkenalkan sebagai identitas baru bagi Dayak yang ada di Kabupaten Pontianak dengan motto “ Adil Ka Talino, Ba Curamin Ka saruga Ba Sengat Ka Jubata”. Lambang organisasi ini adalah pemipis dan gantang. Dengan prestasinya ini, F. Bahaudin Kay, yang juga wakil bendahara DPD Golkar Kab. Pontianak periDayake 1983-1988 pada PEMILU tahun 1992, terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Pontianak untuk periDayake 1992-1997 dari GOLKAR. Setelah musyawarah adat itu, istilah Dayak Kanayatn kemudian dipopulerkan berbagai kalangan melalui tulisan dimedia massa, buku-buku serta program-program radio. Misalnya tulisan mengenai Dayak Kanayatn di Buletin Mimbar Untan; sejak tanggal 1 April 1992, ada siaran radio berbahasa Dayak Kanayatn di RRI Pontianak, yang adalah bahasa Banana' yang menyebar di Kabupaten Pontianak dan Sambas. Peran siaran radio ini sangat besar dalam mensosialisasikan identitas Kanayatn untuk orang-orang yang berbahasa Banana'-Ahe, dan varian sejenisnya. Istilah ini menjadi berurat berakar pada Dayak di Kabupaten Pontianak (sekarang Pontianak dan Landak) dan Sambas (sekarang Sambas dan Bengkayang). Demikian juga berbagai tulisan yang dimuat dalam Majalah Kalimantan Review dan buku-buku terbitan Institut Dayakologi. Tanpa sadar, peran banyak pihak telah mempopulerkan identitas baru ini yang berdampak sangat besar pada perubahan-perubahan berikutnya.
Sejak itu, tidak pernah lagi terdengar perdebatan istilah ini secara signifikan. Baru, pada akhir tahun 1999, istilah ini muncul kembali. Adalah Institute Dayakologi, sebuah LSM Dayak yang kembali membuka perdebatan seputar istilah Kanayatn. Dimuali dengan musyawarah adat di wilayah Binua Temila, Maniamas Miden SoDayak, bersama ratusan penduduk dibinua ini pada akhir tahun 2001 mendeklarasikan komunitasnya sebagai komunitas Dayak Bukit. Perdebatan istilah Kanayatn mulai menghangat kembali ketika di seminar Naik Dango XVIII se-Kabupaten Landak dan Kabupaten Pontianak di Menjalin, seorang antropolog Dayak Salako, Simon Takdir, membahas seputar Dayak Salako. Ia secara rinci menjelaskan kepada peserta, betapa Dayak Salako adalah induk dari berbagai suku-suku yang berdialek banana, ahe, bajare. Menurutnya, suku Kanayatn sebenarnya adalah orang-orang yang berbahasa non ba ahe dan non bajare, yakni orang-orang yang berbahasa nganayatn ( ucapan yang tidak tepat seperti penutur asli ) dan itu berarti Kanayatn adalah orang-orang Bakati, Banyadu’, Bainyam dan isoleknya yang lain. Simon membeberkan sejumlah fakta bahwa di Kabupaten Bengkayang, ditemukan beberapa subsuku Dayak Bakati', yang secara kolektif menyebut dirinya Dayak Kanayatn atau Kanayat. Dalam kenyataannya, istilah 'Kanayatn' populer di kalangan orang yang berbahasa Banana' dan varian sejenisnya, terutama yang bermukim di aliran Sungai Mampawah dan anak-anak sungainya. Oleh aktivis Dayak, pergulatan mengenai istilah kanayatn ini mulai diangkat kepermukaan dalam berbagai diskusi, atau forum seminar ( lihat Bulletin Simpado, Edisi I Jan-Maret 2004, yang ditulis Kristianus Atok ).
B. Perdebatan Yang tak Henti di Sekitar Pelaksanaan Hukum Adat
Akhir-akhir ini kita sering membaca di koran bahwa suatu kasus/tindak pidana diselesaikan dengan "hukum adat". Bahkan kadang sudah menjurus dikomersilkan, sehingga cukup memberatkan bagi pelanggar. Tidak jarang untuk memberlakukan hukum adat menggunakan/mengarakan kekuatan massa. Padahal sejak berlaku hokum positif yang mengejawantah dalam KUHP bagi seluruh rakyat Indonesia pada tahun 1848 (ulangi tahun 1848 Kodifikasi Hukum Positif Indonesia) maka Hukum Adat diseluruh Indonesia dinyatakan tidak berlaku lagi, namun tetap dihormati. Arti dihormati disini adalah bahwa bila ada suatu suku bangsa yang ingin menerapkan Hukum Adat hanya berlaku untuk suku bangsa itu sendiri secara intern, tidak berlaku untuk suku bangsa lainnya. Suku bangsa yang diberlakukan hokum adat berarti si pelanggar tersebut mengandung 2 (dua) resiko: 1. Menerima penjatuhan Hukum Adat berdasarkan adat setempat. 2. Menerima penjatuhan hukum positif/Pidana (karena hukum adat tidak dihapuskan hukum pidana, hanya dapat digunakan untuk bahan pertimbangan yang meringankan). Beberapa pihak menyatakan keberatannya dengan pemberlakukan hukum adat ini. Menurut mereka, seharusnya hukum adat cukup berlaku dikomunitas adat, dan bukan ditempat lain.
Bagi suku bangsa yang memberlakukan hukum adat, misalnya suku Dayak di Kalimantan Barat di Daerah Kabupaten Landak, maka hanya berlaku untuk daerah intern saja, bahkan jika suku Dayak Kabupaten Sintang/Kapuas Hukum melanggar suatu kasus di daerah Landak, tidak bisa diterapkan hukum adat. Untuk menjembatani ini, maka tetap Hukum Positif (KHUP), karena penerapan Hukum Adat suatu daerah kemungkinan tidak sama dengan daerah tempat terjadinya pelanggaran/kasus tersebut. Demikian juga pelaksanaan Hukum Adat tidak boleh bertentangan dengan Hukum Positif (KUHP), misalnya melakukan penyenderaan/penyitaan .
Penerapan hukum adat, juga mulai dipertanyakan warga berbagai acara pertemuan masyarakat. “Saya hanya ingin mempertanyakan, batasan wilayah mana hukum adat itu berlaku, karena sekarang banyak orang mengatasnamakan forum, atau pemuka adat,bahwa sesuatu telah melanggar hukum adat," tanya warga . Lebih lanjut dikatakanya, tak adanya batasan yang jelas dilaksanakanya hukum adat itu, dapat menimbulkan ekses negatif dalam kehidupan bermasyarakat. Hal itu juga dapat mendorong konflik dalam kemajemukan kehidupan warga. Memang sampai saat sekarang masih belum ada pembakuan hukum adat secara universal. Dalam salah satu acara pelantikan pengurus adat, seorang Ketua Dewan Pemangku Adat MABM Ketapang, menyerahkan buku "Adat Istiadat dan Hukum Adat Melayu Kayung" kepada pengurus ranting MABM Sandai Kanan. Buku yang diterbitkan MABM Kabupaten Ketapang itu menjelaskan jati diri Melayu serta hukum adat Melayu Kayung. Yang disebut puak Melayu itu adalah orang yang beragama Islam, berbahasa Melayu dan menggunakan adat istiadat Melayu. Puak Melayu itu adalah non genealogis,". Menurutnya, hukum adat Melayu merujuk pada syariat Islam. Sebagai rakyat Indonesia, maka seharusnya kita tunduk pada hukum positif . Jadi kalau etnis lain boleh melaksanakan hukum adatnya kepada publik di luar wilayah adatnya. Dardi menerangkan sebagai orang Melayu berharap pemerintah RI mengakui hukum syariat Islam. Ini juga sudah tertuang dalam piagam Jakarta. Dia juga mengingatkan MABM ranting Sandai Kanan agar jangan melaksanakan hukum adat di luar syariat Islam. Dicontohkannya seperti denda atau membayar adat sebagai ganti hukuman terhadap pelanggar tindak kriminal. "Kalau jelas pelanggaran kriminal seperti perzinahan, hendaklah diserahkan kepada pihak penegak hukum, bukan dihukum adat," tegasnya . Penegasan itu, ketika dilakukannya pembentukan pengurus ranting Sandai Kanan pada 25 Maret 2005.
Senada dengan tokoh ”Melayu” diatas, pelanggaran hukum terutama tindakan kriminal, juga seharusnya tetap dibawa hukum positif dan jangan dilarikan ke hukum adat. Hukum positif harus lebih ditegakkan, ungkap Kapolres Sintang melalui Kapolsek Nanga Pinoh IPTU M Surbakti . Menurutnya, permasalahan ini perlu perhatian dari semua kalangan serta warga dan juga tokoh adat, karena tindakan yang melanggar hukum bahkan sudah mengarah kepada tindakan kriminal memang harus dibawa ke hukum positif, karena di dalamnya sudah ada mengaturnya serta undang-undangnya. Jadi pada intinya, apabila ada kasus yang menyangkut masalah kriminal dan sejenisnya, jangan di larikan ke hukum adat. Permasalahan yang sering terjadi, ada masalah yang terkadang di selesaikan dengan acara adat, meski tindakan itu memang kriminal. Jadi masalah ini ke depannya perlu menjadi perhatian serta untuk dipahami oleh semua elemen yang ada. Kemudian di sisi lain Sino S Sos, pemerhati pembangunan Melawi menambahkan bahwa apa yang dikatakan olek Kapolsek Nanga Pinoh perlu dukungan dan perhatian masyarakat, karena hukum positif merupakan barometer penegakan hukum. "Jangan masalah pencurian dan sebagainya lalu diselesaikan dengan cara hukum adat lalu selesai," ujarnya. Disisi lain ada juga tindakan kekerasan terhadap wanita, terkadang diselesaikan dengan cara adat, padahal tindakan yang dilakukan itu cukup berat, karena menyangkut kelangsungan hidup si korban. Bahkan Kapolsek minta kepada warga jangan takut serta engan melaporkan tindakan kekerasan terhadap wanita, sebab dibiarkan maka pelaku akan tidak jera serta merajalela. Namun, seorang pejabat pemerintah mengatakan bahwa jangan salahkan hukum adat. Menurutnya, hukum adat yang berlaku adalah merupakan warisan leluhur yang memang harus dilestarikan dan silaksanakan sesuai dengan ketentuan adat setempat. Tetapi dibalik itu, ia juga mengingatkan agar masalah adat ini benar-benar diperhatikan dengan baik. Mengingat sekarang ini, Pemerintah sedang giat-giatnya menarik para investor untuk dapat menanamkan modalnya sehingga diharapkan Adat tersebut tidak menghambat dan membuat investor merasa takut datang .
Perdebatan diatas kemudian semakin meruncing dengan suara sumbang yang hadir di Harian Pontianak Post hari Jum'at (5/3/2004) tentang "Tegakkan Hukum Positif, Tolak Hukum Adat" yang dikeluarkan oleh Ir. Ikdar Salim dan Zulkarnaen Bujang selaku tokoh masyarakat Melayu dan sebagai Ketua Forum dan Ketua Tim Sebelas FKPM Singkawang. Pernyataan ini kemudian menimbulkan rekasi keras dari kalangan Dayak. Seorang pemuda Dayak, yang juga duduk sebagai ketua III dalam kepengurusan Kelembagaan Dewan Adat Dayak Kota Singkawang, sangat tidak sependapat dengan pernyataan kedua orang ”melayu” yang berani-beraninya ngomong lancang terhadap Dewan Adat Dayak, sebagai penyelesaian kasus Kn . Tokoh ini meminta keduanya untuk jangan mencampuri dan adat budaya orang lain dan harus meminta maaf kepada seluruh masyarakat dan suku Dayak yang ada di kalimantan (Borneo) dan khususnya masyarakat Dayak Kota Singkawang. Sebab menurutnya, Adat dan kelembagaan Dayak lebih dulu lahir dari Forum yang mereka pimpin.
Apa yang melatarbelakangi ”perang” sikap atas pemberlakukan hukum adat diatas ? Mengenai fenomena Hukum Adat sekarang ini diterapkan pada masyarakat kota (misalnya: Singkawang dan Pontianak), saya menyatakan bahwa hal itu adalah "Kebablasan". Saya berani menyatakan hal itu sebagai suatu kebablasan, karena penerapan sanksi adat tersebut sudah menyimpang dari hukum adat yang sebenarnya. Sanki Hukum Adat hanya dapat dijalankan pada lingkungan masyarakat adat yang secara "de facto" kehidupan warganya masih berpegang pada Hukum Adat. Jadi, hukum adat berlaku mutlak di kampung-kampung pedalaman Kalimantan Barat karena realitas sosial masyarakatnya yang secara de facto masih berpegang pada adat istiadat tersebut. Sanski hukum adat itu berlaku bagi siapa saja yang melanggar, termasuk warga dari suku/daerah lain yang melakukan perbuatan "sumbang" di wilayah Hukum Adat. Penulis surat pembaca tadi keliru jika mengatakan hukum adat hanya berlaku intern bagi anggota suku Dayak saja. Jadi yang penting adalah "locus delicti". Kota, menurut saya bukan wilayah Hukum Adat, khususnya yang menyangkut aspek pidana. Penerapan sanksi hukum adat di perkotaan juga saya anggap sudah kebablasan karena terkesan sudah dikomersialisasikan. Tujuan sanksi hukum adat yang asli di kampung-kampung adalah untuk mengembalikan keseimbangan alam yang terganggu akibat terjadinya perbuatan "sumbang" yang dilakukan oleh pelaku. Saknsi tersebut lebih bersifat magis-religius sesuai dengan kepercayaan masyarakat adat. Sedangkan sanksi adat yang dijatuhkan oleh orang-orang Dewan Adat di kota bisa mencapai jutaan rupiah, yang sepertinya dibuat-buat, terlalu di "dramatisir". Sebagai orang Dayak asli, saya malah sedih melihat Hukum Adat Dayak dipermainkan oleh oknum-oknum yang mengaku "Pengurus Adat" di perkotaan! Sebagai orang Dayak, saya sendiri tidak tahu bagaimana mekanisme penunjukan Dewan adat di kota-kota. Yang jelas mereka tidak dipilih langsung oleh warga masyarakat adat Dayak. Dan saya tahu, bahwa di kota Singkawang dan Pontianak, realitas sosial kehidupan masyarakatnya pasti secara "de facto" tidak lagi berpegang pada Hukum Adat, khususnya yang menyangkut tindak pidana. Sanksi hukum adat dapat saja dijatuhkan pada si pelaku sebagai hukuman tambahan atas perintah Hakim, bukan oleh Dewan Adat yang sebetulnya bukan pengurus adat asli menurut Hukum Adat Dayak. Dewan adat di kota menurut pendapat saya lebih sebagai "organisasi sosial" untuk mengembangkan nilai-nilai budaya Dayak serta melakukan advokasi terhadap hak-hak masyarakat adat di tengah-tengah modernisasi saat ini. Dewan Adat biasanya diisi oleh kaum intelektual Dayak di kota yang mungkin tidak dikenal oleh masyarakat adat Dayak di kampung-kampung!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar