Selasa, 01 Juni 2010

Rekontruksi Salako

Yohanes Supriyadi
Pendahuluan
Kalimantan Barat merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang dihuni oleh ratusan kelompok etnik. Dayak adalah salah satu kelompok etnik yang memiliki keragaman anak suku yang sangat sempurna. Selain Dayak dengan berbagai varian anak sukunya, ada 3 kelompok etnik lain yang populasinya signifikan; Melayu, Cina dan Madura. Sejak masa kolonial, seluruh kelompok etnik telah terlibat dalam persaingan tajam untuk merebut dominasi ekonomi, politik, dan sosio-kultural. Hubungan mereka sejak awal cenderung konfliktual. Kehadiran negara moderen –mulai dari Belanda, Jepang, hingga Indonesia— secara langsung atau tidak, cenderung membiarkan bahkan memanfaatkan hubungan yang konfliktual ini.





Ada 3 insiden kekerasan etnik yang terjadi dan terbesar di Kalbar. Pertama, beberapa sub-etnik Dayak melakukan ”pengusiran” terhadap sekelompok Cina yang tinggal di pedalaman, di sekitar perbatasan dengan Malaysia, yakni di wilayah Sambas, Bengkayang, Landak, dan Sanggau. Insiden itu hanya terjadi satu kali, berlangsung sekitar 2 bulan, dari Oktober hingga November 1967, satu titik waktu dimana rezim Orde Lama beralih ke Orde Baru. Kedua, beberapa sub-etnik Dayak melakukan pengusiran terhadap sekelompok Madura yang tinggal di Bengkayang, Landak, dan Sanggau. Insiden itu hanya terjadi satu kali, berlangsung sekitar 2 bulan, dari Januari hingga Februari 1997, satu titik waktu dimana rezim Orde Baru segera akan berakhir. Dan ketiga, satu sub-etnik Melayu melakukan pengusiran terhadap sekelompok Madura yang tinggal di Sambas. Sebagaimana sebelumnya, insiden ini hanya terjadi satu kali, berlangsung sekitar 2 bulan, dari Februari hingga Maret 1999, satu titik waktu dimana Orde Reformasi baru mulai berdiri.

Dalam kacamata Dayak, istilah pengusiran ini merupakan bagian dari hukuman sosial. Kalaupun ada pembunuhan, hanya ketika penduduk yang diusir menyatakan dan melakukan perlawanan (Yohanes;2005).

Patut diketahui, lokasi 3 insiden kekerasan etnik tersebut diatas, semuanya termasuk wilayah (ancestral domain), yang mayoritas penduduknya berasal dari sebuah anak suku dari kelompok Dayak, Kanayatn dan Salako. Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan bagaimana asal-usul kelompok etnik ini ? siapakah Orang Kanayatn ini ? dan mengapa ”teritori” orang Kanayatn dan juga Salako menjadi basis utama konflik kekerasan etnik di Kalbar ?

Sejarah Asal-usul dan Dinamika Antar Kelompok Etnik
Banyak ahli mengatakan bahwa Dayak adalah penduduk asli Kalimantan atau Borneo. Istilah Daya (tanpa huruf k) sendiri baru dikenal tahun 1895, yang ditulis oleh ilmuwan Belanda, Dr. August Kaderland dalam laporannya tentang ”Manusia di Borneo”. 50 tahun kemudian, seorang antropolog Indonesia, Lahadjir, mengatakan bahwa penduduk asli di Kalimantan sendiri jauh sebelumnya, belum mengenal istilah itu (Dayak) pada umumnya. Akan tetapi orang-orang diluar lingkup merekalah yang menyebut mereka sebagai “ Dayak ‘ (Lahajir, 1993). Sembilan puluh tujuh (97) tahun setelah penemuan istilah Daya, barulah, dalam sebuah seminar nasional yang dihadiri oleh wakil-wakil orang Daya seluruh Kalimantan (Barat, Tengah, Selatan, Timur, Sabah dan Sarawak) tahun 1992, kata “Daya” disepakati untuk diseragamkan menjadi “Dayak”. Sebuah identitas baru, hasil rumusan abad 21.

Beberapa peneliti (Coomans, Kinnon, Sellato, Rousseau, Lahadjir, Takdir, Atok, Nieuwenhuis) pernah merekonstruksi asal usul mereka yang menamakan dirinya Dayak ini. Menurut Coomans, kelompok imigran yang pertama kali ada di Kalimantan adalah kelompok ras Negroid dan Weddoid (Coomans,1987). Orang Negrito dan Weddoid telah ada sejak 8000 SM. Mereka tinggal didalam gua dan mata pencaharian mereka berburu binatang. Kelompok ini masih menggunakan batu sebagai alat berburu dan meramu. Kelompok ini sekarang telah lenyap sama sekali (Wojowasito, 1957).

Selanjutnya adalah kelompok imigran kedua adalah Proto Melayu (Melayu Tua) yang datang sekitar tahun 3000-1500 SM. Menurut Asmah Haji Omar (http://www.amazon.co.uk), peradaban mereka ini lebih baik dari Negrito, mereka telah pandai membuat alat bercocok tanam, membuat barang pecah belah dan alat perhiasan. Gorys Keraf, dalam bukunya Linguistik bandingan historis (1984) mengatakan bahwa, kelompok imigran kedua ini telah mengenal logam, sehingga alat perburuan dan pertanian sudah menggunakan besi. Mereka hidup dipantai dan menyebar hingga kepedalaman. Kedatangan migrasi kedua (2) ini, dalam prakteknya telah memaksa Orang Negrito untuk pindah kepedalaman dan berpindah-pindah. Berbeda dengan Orang Negrito, bangsa yang dikenal sebagai Deutro Melayu ini hidup berkelompok dan tinggal menetap disuatu pemukiman. Mereka yang tinggal dipesisir pantai hidup sebagai nelayan dan membuka pemukiman yang berdekatan dengan sungai dan muara-muara sungai. Mereka sudah pandai memilih ketua pemerintahan dan agama. Mereka menganut animisme.

Kelompok imigran terakhir adalah kelompok yang masuk sekitar tahun 500 SM (Coomans,1987),yaitu ras Mongoloid (Coomans,1987; sellato,1989; Rousseau1990). Ras ini berasal dari Propinsi Yunan, Cina Bagian Selatan. Kehidupan mereka berpindah-pindah. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penduduk Kalimantan sekarang merupakan hasil perkawinan silang antara Bangsa Negrito, Weddoid, Mongoloid dan Austronesia (Yohanes;2007;1a).

Kontak dengan pedagang asing dan kedatangan migran yang menetap ini, mendorong orang Salako yang tinggal di pesisir pantai beralih agama menjadi Islam sehingga mengembangkan kebudayaannya sendiri yang lebih berkembang dengan berpusat di kesultanan yang dibentuk dimuara-muara sungai (Yohanes.S;2003).

Kedatangan muslim Cina yang dibawa Laksamana Cheng Ho pada tahun 1463 menyebabkan pembauran dan masuknya Islam dipesisir Kalimantan Barat. Sejak itu, gelombang migrasi dari Cina memasuki KalimantanBarat. Tahun 1745, misalnya 20 orang Cina didatangkan dari Brunei untuk bekerja pada pertambangan emas milik Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah. Keberhasilan pertambangan emas, menyebabkan Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah terus mendatangkan Orang Cina, hingga pada tahun 1770 orang Cina sudah mencapai 20.000 orang. Gelombang terakhir terjadi tahun 1921-1929, ketika di Tiongkok (Cina) terjadi perang saudara. Mereka datang melalui Semenanjung Malaya, Serawak dan pesisir utara Kalimantan Barat.

Konfigurasi dan Streoptif Antar Etnik
Sebelum dan selama masa kolonial Belanda, Sambas dan Pontianak merupakan daerah yang terdiri dari banyak kesultanan. Kendati saling bersaing, semua sultan adalah Melayu dan memperoleh dukungan dari pemerintah kolonial Belanda & Jepang. Orang Salako adalah rakyat yang menjadi subyek kekuasaan kesultanan ini.

Awalnya jumlah penduduk diwilayah ”kesultanan” masih sangat sedikit, namun seiring dengan semakin banyaknya Orang Salako yang berkonversi menjadi Islam diwilayah kesultanan, disamping migrasi orang Islam dari daerah lain dan melakukan perkawinan silang, jumlah mereka menjadi bertambah. Mereka inilah yang kemudian menamakan dirinya sebagai ”Melayu” (Iqbal;2004;14).

Mengimbangi islamisasi ini, pemerintah kolonial memberi kesempatan para misionaris Katolik untuk masuk dan mendirikan sekolah-sekolah di wilayah Orang Salako (Raba, Salako/Selakau, Sabiris/Capkala, Nyarumkop dan dibeberapa tempat lainnya), dan kulminasinya pada paruh kedua abad 21, Orang Salako makin banyak yang justru beralih menjadi Katolik dan Protestan. Berbeda dengan koversi agama sebelumnya, dengan menjadi Kristen, mereka tetap tidak kehilangan identitas etnik awalnya (Moh. Iqbal;2004;16). Meskipun demikian, mayoritas Orang Salako masih tetap tinggal di pedalaman dan Melayu tetap tinggal di sekitar pesisir.

Konfigurasi sosial semacam itu terus bertahan hingga sekarang ini.

Pemerintah Belanda & misionaris juga memberikan kesempatan pendidikan yang besar, dan secara sadar atau tidak, ikut membentuk identitas etnik kepada Orang Salako. Tragedi pembunuhan massal oleh Jepang di Mandor membuat Melayu kehilangan banyak sumberdaya manusia yang berkualitas. Dan karena sikap yang cenderung pro Belanda pada masa awal kemerdekaan, membuat Melayu pada akhirnya kehilangan peluang untuk menguasai birokrasi pemerintahan pada masa Orde Lama. Sejumlah elit Dayak, yang mayoritas asal Hulu Kapuas dan merupakan alumni dari persekolahan Katolik Nyarumkop berhasil memanfaatkan situasi ini. Mereka mengkonsolidasi kekuatan politiknya dengan mendirikan partai politik, dan pada pemilu 1955 dan pemilu 1958, kelompok ini menang. Hal ini kemudian mengantarkan JC.Oevaang Oeray, tokoh Dayak asal Hulu Kapuas menjadi Gubernur Kalimantan Barat dan berhasil menempatkan dirinya sebagai refresentasi kelompok etnik yang berkuasa selama delapan (8) tahun.

Seiring dengan pergantian rezim dan perubahan politik luar-negeri Indonesia, pemerintah Jakarta mulai membatasi aktivitas elit Dayak dalam politik dan pemerintahan, dan menggantikannya dengan pejabat militer yang berasal dari Jawa dari 1966-2002. Elit Dayak berusaha mengadakan koptasi, namun gagal. Meski sebelumnya, Cina juga berupa melakukan koptasi, namun usaha itu gagal melalui peristiwa “demonstrasi”. Akibatnya, justru terbalik, puluhan ribu orang Cina harus rela “keluar” dan mengkonsentrasikan diri di kawasan pesisir, yang sebelumnya menjadi teritori “Melayu”.

Belajar dari sejarah, secara perlahan Melayu berhasil kembali menguasai birokrasi tingkat menengah ke bawah. Penguasaan ini berlangsung selama Orde Baru (32 tahun).

Berbeda dengan Melayu, selama Orde Baru, Orang Salako tetap “merasa tertindas”. Mitologi yang ada berupaya dieksplorasi, direkatkan dan sehingga menjadi doktrin politik. “Melayu penindas, penjajah dayak”. Streotipe negative ini terus berlangsung, kadang berdasarkan cerita tetua-tetua, menembus ruang dan waktu.

Berikut ini, bagian dari mitologi yang kemudian menjadi streotipe negative Dayak kepada Melayu, khususnya di wilayah-wilayah di Kabupaten Pontianak (sekarang ditambah Kabupaten Landak dan Kubu Raya) hingga hari ini.
“…..di Kampung Jarikng (bhs melayu; jering), daerah Menyuke, hidup seorang sakti dari Bukit Bawakng yang mengembara. Ia merupakan anak Ngatapm Barangan (Bukit Bawakng) dengan Bujakng Nyangko (Bukit Samabue). Namanya Ria Sinir. Setelah menikahi Dara Irakng (bhs.melayu: dara hitam), mereka dikarunia dua orang anak laki-laki yang kembar. Namanya Lutih dan Kari. Dua puluh tujuh tahun kemudian (setelah dewasa), oleh Ria Sinir kedua anak ini diikat dalam suatu sumpah adat. Dua buah batu diberikan kepada Lutih dan Kari. Satu batu untuk ditanam didarat dan satunya dibuang kesungai sebagai batas wilayah. Isi sumpah adat itu adalah (1) Hidup harus tolong menolong, (2) Hidup mempertahankan keamanan rakyat dan desa (3) Tidak boleh hidup tipu-menipu (4) Harus jujur dan adil dan (5) Harus setali sedarah. Satu batu sebagai symbol sumpah adat, telah berhasil ditanam di halaman rumah panjang, di Kampung Jarikng. (lihat foto). Penanaman batu ini disaksikan seluruh warga. Untuk membuang batu yang satunya lagi, diutus 2 orang saksi yang bernama Rotos dan Rangga. Berempat mereka menaiki sampan,mencari tempat batas daerah. Mula-mula batu tanda batas ini hendak dibuangkan di lubuk balamakng (bhs.melayu; belambang).Waktu mau membuangkannya ,timbul curiga dalam hati Kari: ”Kalau-kalau nanti Daya Laut “ngambang”.(akan hidup curiga-mencurigai antara kedua suku ). Mereka milir lagi sampai ke sungai Kodak. Namun sungai ini tidak memuaskna mereka (nanti akan timbul ancam-mengancam antara kedua suku ini). Mereka milir lagi, tibalah kesungai Sengaras. Inipun masih mengkuatirkan mereka. Takut-takut kalau kedua suku ini akan berkeras-kerasan. Mereka berhenti dan berunding lagi. Mereka memutuskan untuk milir lagi ke sungai Melano. Inipun juga masih menimbulkan persangkaan yang belum puas, masih curiga kalau-kalau nanti kedua suku ini akan belato (panggil-memanggil dan kacau). Mereka milir lagi kesungai Suwal, Hampir saja batu ini dibuang, namun masih ragu-ragu kalau kedua turunan itu akan berjual beli dan terdapat tipu-menipu seorang dengan seorang. Mereka memutuskan untuk milir lagi,sampailah ke sungai lubuk riapm pauh. Rupanya masih juga disangsikan keduanya, nanti kedua generasi mendatangi itu hidup berjauh-jauhan. Sebenarnya telah bosan mereka mencari tempat untuk membuangnya. Mereka milir lagi, mencoba mendapat tempat yang benar-benar memuaskan hatinya berdua. Tibalah mereka ke sungai penolos.Tempat ini lebih mencurikan hati pikiran mereka.Kalau-kalau kedua turunannya akan hidup hina-menghina. Milir lagi dan tibalah mereka kelubuk sepat. Sepat artinya sipat, artinya ini sangat baik untuk tempat berpisah.Tepat sekali untuk maksud mereka. Suatu kata yang tidak mengandung bahaya sama sekali.Milir yang kesembilan inilah yang telah menjadi garis demarkasi perpisahan kedua kakak beradik. Batu saksi dibuang kedasar sungai. Mengulangi penanaman batu sebelumnya didaratan, maka membuang batu kedua inipun harus melalui upacara sumpah.Ucapan sumpah yang harus diucapkan oleh kedua kakak beradik dengan sungguh-sungguh jujur. Sumpah ini adalah sumpah ulangan ,yang telah diucapkan dikampung Jering. Spontan Kari, sang adik mengucapkan sebagai berikut: “Daya Salah Daya Mati, Laut Salah Daya Mati”. Bersamaan dengan itu, batupun dibuang kedalam sungai. Segera Lutih dan kedua saksi menegur Kari, memohon agar ia mengulangi ucapan sumpahnya,yang salah dan tak jujur itu. Kari mau mengulanginya.Tapi sukar juga mengambil kembali batu janji yang telah berkerajaan kedasar sungai yang sangat dalam itu. Lutih dan kedua saksi kecewa, sedangkan Kari, dikemudian hari mengembangkan kerajaan yang berpusat di Ngabang, Kerajaan Landak.

Mitos-mitos diatas, hingga hari ini masih dipercayai oleh Orang Salako dan dikemas sedemikian rupa untuk saling bersaing, dan mempengaruhi pola relasi kedua suku.

Masa Orde Baru adalah masa kontemplasi dan konsolidasi bagi elit Dayak. Dalam masa panjang itu, mereka berusaha semakin menguatkan identitas etnik mereka dengan mengontraskan perbedaan antara Dayak dengan Melayu. Mereka mengidetifikasi dirinya sebagai Kristen, penduduk asli, mayoritas, namun dijajah oleh Melayu yang mereka anggap sebagai Islam, pendatang dan minoritas. Mereka mendirikan berbagai organisasi sosial-politik yang berusaha memberdayakan kelompok etniknya.

Para elit Dayak juga rupanya belajar dari keberhasilan Partai Persatuan Daya (PD) dengan mendudukan Oevaang Oeray menjadi Gubernur pertama Dayak di Kalimantan Barat pada tanggal 1 Januari 1960. Para elit Dayak telah mampu membaca peluang untuk terlibat aktif di bidang politik. Pada masa inilah, “kebutuhan” untuk menyatukan orang Dayak dalam satu wadah dipandang sangat mendesak. Dan peluang yang besar untuk menyatukan Dayak ada di Golkar. Konsekuensinya harus ada ikatan pemersatu. Istilah 'Kanayatn' atau 'Kendayan' kemudian dimanfaatkan para elit Golkar-Dayak sebagai sarana pemersatu sub-suku Dayak di Kabupaten Pontianak dan Sambas.

Melayu awalnya tidak mempedulikan gerakan politik ini.

Namun setelah kekerasan etnik Dayak versus Madura pada 1997 berakhir yang kemudian membuat Dayak semakin asertif dan konfiden dalam memperjuangkan kepentingannya, bukan hanya dalam politik, melainkan juga sosio-kultural (Moh.Iqbal;2004;19). Mereka memaksa kelompok etnik lainnya untuk menundukan diri kepada hukum adat. Melayu kemudian bereaksi. Mereka yang berasal dari kelompok etnik terakhir ini memberikan tanggapan dengan menegaskan bahwa mereka juga merupakan penduduk asli, mayoritas dan juga mengembangkan konsepsi bahwa Dayak dan Melayu adalah saudara, dan bahwa menjadi Islam tidak berarti Dayak kehilangan identitasnya. Lebih jauh Melayu juga mengembangkan berbagai organisasi etnik Kemelayuan dan hukum adat Melayu dengan mendirikan Majelis Adat Budaya Melayu. Dalam konteks persaingan yang ketat dan penuh friksi inilah kemudian terjadi kekerasan etnik Paritsetia pada 1999 yang melibatkan Melayu versus Madura. Sebagaimana Dayak, sesudah insiden kekerasan itu, giliran Melayu menjadi lebih asertif dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Mereka seakan tidak takut lagi untuk berperang secara frontal dengan Dayak. Setelah kalah dalam pemilihan bupati di beberapa kabupaten, mereka akhirnya berhasil menambah jumlah orang Melayu sebagai bupati sedemikian sehingga jumlah mereka relatif seimbang. Dalam era kebijakan Otonomi Daerah, puncaknya mereka berhasil menguasai jabatan gubernur pada akhir 2002.

Rekonstruksi Identitas
Tidak seperti mitos yang berkembang, Kalbar bukan merupakan suatu wilayah yang makmur. Sumberdaya alamnya tidak terlalu bervariasi, dan tanahnya kurang subur. Pada abad 16-19, wilayah ini lebih banyak mengandalkan pada emas dan intan, pada paruh pertama abad 20, pada kopra, karet dan lada, selanjutnya hingga sekarang ini pada kayu, jeruk dan kelapa sawit. Gadowar Singh Sahota (1968) dalam penelitiannya menemukan faktor penghambat dalam keputusan bermigrasi adalah pendapatan yang hilang di daerah asal dan biaya akomodasi (penginapan) di daerah baru. Makanya orang lebih mudah pergi ke suatu tempat jika disana ada kerabat atau keluarga yang dapat menerima mereka untuk sementara sampai memperoleh pekerjaan, karena keluarga paling tidak dapat menyediakan tempat menginap dan lebih-lebih lagi jika dapat memperoleh makan. Faktor-faktor di tempat asal migran misalnya dapat berbentuk faktor yang mendorong untuk keluar atau menahan untuk tetap dan tidak berpindah. Di daerah tempat tujuan migran faktor tersebut dapat berbentuk penarik sehingga orang mau datang kesana atau menolak yang menyebabkan orang tidak tertarik untuk datang. Tanah yang tidak subur, penghasilan yang rendah di daerah tempat asal migran merupakan pendorong untuk pindah. Namun rasa kekeluargaan yang erat, lingkungan sosial yang kompak merupakan faktor yang menahan agar tidak pindah. Upah yang tinggi, kesempatan kerja yang menarik di daerah tempat tujuan migran merupakan faktor penarik untuk datang kesana namun ketidakpastian, resiko yang mungkin dihadapi, pemilikan lahan yang tidak pasti dan sebagainya merupakan faktor penghambat untuk pindah ke tempat tujuan migran tersebut. Jarak yang jauh, informasi yang tidak jelas, transportasi yang tidak lancar, birokrasi yang tidak baik merupakan contoh intervening faktor yang menghambat. Di pihak lain adanya informasi tentang kemudahan, seperti kemudahan angkutan dan sebagainya merupakan intervening faktor yang mendorong migrasi.

Sjaastad (1962) dan Bodenhofer (1967) mendekati migrasi lewat teori human investment. Mereka menyatakan bahwa migrasi adalah suatu investasi sumberdaya manusia yang menyangkut keuntungan dan biaya-biaya . Biaya-biaya bermigrasi tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut : Risiko, Pendapatan yang hilang (earning forgone), Ketidak nyamanan karena meninggalkan kampung halaman (disutility of moving),Ketidak nyamanan dalam perjalanan, Ketidak nyamanan di lingkungan baru dan Psychic costs (biaya psikhis) karena berbagai ketidak nyamanan tersebut. Sedangkan benefit yang diperoleh adalah pendapatan yang lebih baik yang diperoleh di daerah baru nantinya. Todaro (1976) menyatakan bahwa pendapatan tersebut dalam bentuk expected income (pendapatan yang diharapkan).

Dari teori……..pola migrasi kelompok ini kira-kira sebagai berikut:
“…setelah beberapa lama tinggal di Sarinakng dan Pulo Nangka, beberapa orang dari mereka berusaha lagi pindah mencari daerah baru. Perpindahan ini disebabkan oleh beberapa hal, kemauannya sendiri, lokasi ladang, dan konflik dalam komunitas. Menurut Nek Uyan, satu-satunya Orang Salako yang tersisa di Sarinakng saat ini, ada kelompok yang pindah ke Pemangkat, yang dipimpin Nek Mangkat. Keturunan kelompok ini selanjutnya ada yang pindah dengan menelusuri sungai Sebangkau hingga ke daerah yang disebut Palanyo (dalam bhs. Melayu: Pelanjau). Mereka mendirikan bantang di sini”.
Akhir Juli 2008 lalu saya berkesempatan untuk mengunjungi salah satu kampung Salako ini. Namanya Kampung Baron, Desa Twi Mentibar, Kecamatan Selakau Kabupaten Sambas. Jaraknya hanya 6 Km dari pasar Selakau, dapat dilalui dengan jalan darat maupun sungai. Saya masih menemukan 15 keluarga dikampung ini, namun hanya 1 orang yang masih asli keturunan Salako, sisanya percampuran Salako-Cina. Namanya Nek Sujah, usianya sudah 80 tahun. Ia tinggal dengan anak tertuanya. Suaminya sudah meninggal 10 tahun lalu. Dengan bahasa Salako, ia bertutur:
”berdasarkan cerita nenek saya, dulu ada beberapa kelompok pindah dari kampong ini dengan menelusuri hulu sungai Selakau. Ada yang menelusuri sungai Sangkang dan naik di Nek Date’, Potekng, Pajintatn, Sango, Pakunam, Samarek, Pasi dan seterusnya. Namun ada juga yang naik di Bariakak dan terus ke Sahawa’, Bagak, Sanorekng, Ranto, Sakong dan sebagainya. Selanjutnya, ada yang terus mudik dan naik di Timawakng Abo’ dan pindah ke Puaje. Namun ada satu kelompok kecil yang terus menelusuri hulu sungai Selakau yang akhirnya menetap di Bukit Bawakng (gunung Bawang). Dari Bukit Bawakng, mereka pindah ke Lao, daerah Serukam sekarang. Dari Lao, mereka menyebar ke daerah Sawak, Gajekng, Gado’, Pakana dan sekitarnya. Inilah nenek moyang Orang Salako yang menurunkan mereka yang berbahasa ba ahe dan ba nana’. Selanjutnya terjadi penyebaran ke berbagai wilayah di kabupaten Pontianak dan Landak dengan berbagai macam isolek (dialek dalam bahasa serumpun) saat ini. Gelombang migrasi orang-orang Salako dari Sarinakng ini terus berlanjut hingga akhirnya bantang Bukit Sarinakng itu menjadi kosong, dan menjadi Timawakng (tembawang)”

Pembauran ras melahirkan beberapa cirri yang membedakan Orang Salako dengan kelompok etnik Dayak dihulu Kapuas. Misalnya, bakayo (mengayau, memburu kepala manusia), tinggal di bantang, tangkitn (kelompok Dayak dihulu Kapuas menggunakan Mandau) sebagai alat perang, dan sebagainya. Warisan Weddoide yang masih bertahan hingga hari ini adalah menjadikan hewan anjing sebagai hewan sembelih dan kurban pada jubata (dewa). Ini terjadi karena pada waktu itu banyak anjing hutan yang liar yang hidup di daerah ini. Binatang ini menjadi hewan buruan yang mudah bagi kaum Weddoide yang masih memiliki peralatan dari batu. Warisan Weddoide lainnya yaitu pada umumnya lokasi pemukiman Orang Salako ini selalu di atas. Pada umumnya dibatasi oleh sungai, bukit atau rimba. Ciri lain yang masih tampak pada Orang Salako yang masih dapat dijumpai hari ini, antara lain: (1) Gemar makan ikan yang dibusukkan (jaruk dan bonto’), (2) Mempunyai adat memotong kepala (bakayo) seperti bangsa kuki, Naga dan Gar di pegunungan Assam, (3) Suka melapis gigi dengan emas (angkero/sunggi’), (4) Tinggal dirumah barak yang terdiri berbagai keluarga (rentetn/bantang), (5) Rumah-rumah didirikan diatas tiang, bukan karena tanahnya becek, (6) Pelubangan daun telinga yang terlalu besar(jarang dilakukan oleh kaum pria. Namun secara umum oleh kaum wanita saja). Lubang lebar itu sebagai akibat dari beban buah anting-anting yang berat serta lamanya beban itu pada daun telinga. (7) Suami termasuk dalam keluarga istri (dalam masyarakat Kanayatn antara saudara dan kerabat pihak istri dan suami menggunakan kata sapaan isatn/ ise’, dan antara orang tua serta kerabat dari kedua belah pihak menggunakan kata sapaan imat). (8) Menyapa suami dan istri dengan nama anaknya yang tertua (parapaatn). (9) dalam menghitung menggunakan kata bilangan bantu seperti ekor, orang, belah dan sebagainya. Selain ciri-ciri tersebut di atas, ciri lain yang merupakan kebiasaan Orang Kanayatn jaman dulu sebagai warisan budaya dari nenek moyangnya bangsa Autronesia adalah mengkremasikan jenasah orang yang sudah meninggal, yakni dengan membakarnya (King (1993). Lahan atau tempat pembakaran jenasah itu disebut patunuan. Walaupun sekarang ini jenasah tidak dikremasi lagi, tempat mengubur jenasah (kuburan) tetap disebut patunuan, bukan pasuburatn (pekuburan). Dan (10), menjadikan Bukit Bawakng sebagai sentral religi. Hampir seluruh mitos dan kepercayaan, bersumber dari bukit ini. Hingga hari ini, disekeliling Bukit Bawakng masih dijumpai perkampungan Orang Kanayatn, yang berbahasa Bakati’.

Orang Salako adalah orang alam. Mereka hidup ditengah-tengah alam, sebagai tempat belajar dan menempa kehidupan. Mereka sering membuat percobaan-percobaan. Percobaan terbaik dimasukan dalam ADAT. Adat jangan dilanggar, karena terlalu berresiko bagi kehidupan selanjutnya.

Pokok-pokok Adat
Ada 5 pokok adat (adat yang utama), yaitu (1) Penekng Unyit Mata Baras. Asalnya dari Ne Unte’ Pamuka’ Kalimantatn, Ne Bancina dari Tanjung Bunga, Ne Sali dari Sabakal, Ne Onton dari Babao, Ne Sarukng dari Sampuro.(2) Baras Banyu Banyang. Asalnya dari Ne Pangingu dan Ne Pangorok (3) Baras Ijo. Asalnya dari Bujakng Nyangko dari Bukit Samabue dan Kamang Muda’ dari Santulangan serta Ngatapm Barangan Raja Jajawe (4) Baras Sasah. Asalnya dari Gira’ Giro Sisi Langit, Beta’ Beto Tampus Tanah dan Raja Naga Pusat Ai’ dan (5) Langir Binyak. Asalnya dari Ne Bunga Putih Oncok Bawakng, Ne Nyala’ Raja Pajaji, Ne Lopo Panungkakng Bawakng, Ne Sudu’ Nu’ Alang Ngalulu’ Balah, Ne Dayakng Nu’ Dandang Bagago’ Jiba Sumangat, Ne Bayu Rinsamang harta muda dunia.



Theogoni
Mereka juga mengenal ilmu theogoni (lihat Pater Yerimias, OFM.Cap;1997;3). Ada 4 yang utama, yaitu

(1) Nek Panitah.
Nek Panitah adalah dewa tertinggi. Ia hidup bersama istrinya yang bernama Ne Duniang. Anak Nek Panitah dengan Ne Duniang bernama Baruakng Kulub.

(2) Jubata.
Jubata adalah roh-roh yang baik. Jumlah mereka banyak. Tiap sungai, gunung, hutan, bukit mempunyai jubata. Yang terpenting adalah jubata dari bukit bawakng. Apa Mantu Ari adalah raja dari bukit bawakng. Untuk memanggil Jubata, hitungannya ada 7 (Tujuh), dan senantiasa diperingati pada setiap upacara ritual adat oleh Panyangahatn (Imam Adat) dalam Bamangnya sebagai berikut: Asa...dua...talu...ampat...lima...anam...tujuh, agi’nya koa....dst. Untuk menghadirkan atau (lebih tepat mengundang) Jubata untuk hadir pada setiap upacara ritual adat yang dilaksanakan, panyangahatn melakukan beberapa hal misalnya:
- MemanggilNya dengan suara jelas dan lantang Ooooooooooo Kita’ JUBATA.....dst..dst.
- MemanggilNya dengan perantaraan Bujakng Pabaras, yang dilambangkan dengan menghamburkan biji beras yang utuh sebanyak tujuh biji dengan bamang sbb: Aaaa....ian Kita’ Bujakng Pabaras, Kita’ nang ba tongkakng lanso, nang ba seap libar, ampa jolo basamptn, linsode batinyo saluakng jannyikng......dst
- MemanggilNya dengan bunyian Potekng Baliukng sebanyak 7 kali

(3) Kamang.
Kamang adalah roh-roh leluhur dari orang dayak. Ia berpakaian cawat dan kain kepala warna merah dan putih diputar bersama (tangkulas). Ini juga pakaian dari pengayau kalau mereka pulang dengan membawa hasil. Kamang pandai melihat, mencium bau dan makanannya darah. Ini terlihat dari upacara-upacara adat. Darah untuk kamang dan beras kuning untuk jubata. Kamang tariu dan kamang 7 bersaudara. Kamang tariu adalah adalah Kamang Nyado dan Kamang Lejak. Sedangkan kamang 7 bersaudara adalah Bujakng Nyangko (yang tertua) tinggal di Bukit Samabue, Bujakng Pabaras, Saikng Sampit, Sasak Barinas, Gagar Buluh, Buluh Layu’ dan Kamang Bungsu (dari Santulangan). Bujakng Nyangko adalah kamang yang baik. Sedangkan yang lain terkadang baik dan terkadang jahat. Saikng sampit, Sasak Barinas, Gagar Buluh dan Buluh Layu’ adalah kamang yang sering tidak senang dan menyebabkan pada waktu itu penyakit dan kematian. Kamang Tariu dengan 7 bersaudara itu adalah pelindung dari para pengayau dan

(4) Antu.
Jumlah antu banyak sekali. Dalam arti tertentu, mereka kurang lebih jiwa orang mati. Antu selalu menyebabkan penyakit pada manusia, binatang maupun tumbuhan. Antu cacar menyebabkan penyakit pada manusia. Antu apat menyebabkan penyakit padi dan antu serah menyebabkan banyak tikus makan padi diladang.

Azas Kehidupan
Orang Salako juga memelihara dan menjaga dua (2) azas kehidupan yang teramat penting. Keduanya saling berkait dan tidak dapat dipisahkan, yaitu; Pama artinya berkat, yaitu satu kekuatan yang membawa keuntungan. Pama hanya dimiliki oleh orang besar dan juga pengayau yang berhasil. Mereka mempunyai pama karena dianggap mereka mempunyai hubungan keatas, dengan jubata. Kalau orang yang mempunyai pama meninggal, pama pindah kepantak yang pada akhirnya ditempatkan dipadagi. Kata pama sendiri berasal dari bahasa sanskrit = umpama, berarti gambaran. Pantak adalah gambaran seseorang yang mempunyai pama pada waktu dia hidup dan jiwa.

Jiwa.
Ada 7 jiwa yang mereka percayai dalam kehidupan religinya, yaitu Nyawa. Hanya manusia dan binatang yang mempunyai nyawa. Nyawa hilang waktu meninggal. Sumangat. Bukan hanya manusia mempunyai sumangat, tetapi juga binatang, tanaman dan benda-benda. Ini dapat dilihat dari doa-doa persembahan yang selalu diakhir dengan memanggil kembali sumangat manusia, padi, babi, ayam, beras, emas, perak dan semua milik rumah. Sumangat dengan mudah keluar dari tempatnya. Kalau terkejut, sesudah suatu perbuatan yang berbahaya yang didampingi oleh ketakutan, sesudah memandikan anak kecil (bahaya sumangat anak hilang bersama dengan air). Sesudah melahirkan juga diadakan upacara nyaru’ sumangat. Cara sederhana untuk memanggil sumangat kembali : kurrr….a’ sumangat….. Mimpi disebabkan oleh sumangat, karena itu sumangat berjalan. Kalau kita sebut nama seseorang, sumangatnya pasti datang dengan kita dan kita akan bertemu dengan semangat orang itu dalam mimpi. Tempat sumangat ada dalam badan. Sumangat dikembalikan dalam badan oleh dukun baliatn lewat telinga kiri. Sesudah manusia meninggal, sumangatnya tidak menjadi pidara, tetapi pergi ke subayatn. Sumangat dari orang yang dibuatkan pantak pergi ketempat pantak itu dan bergabung dengan kamang. Ayu.Tempat ayu ada dibelakang badan. Kalau ayu pergi, ayu dikembalikan dipermulaan punggung (ka’ pungka’ balikakng), dibawah leher. Ayu melindungi manusia dari belakang. Penyakit yang disebabkan oleh kehilangan/kepergian ayu jauh lebih parah daripada penyakit yang disebebkan oleh kepergian sumangat. Dikatakan “lapas ayu“ atau rongko’ (sakit ayu). Sesudah orang meninggal, ayu menjadi pidara dan tetap tinggal bersama dengan badan. Ada hubungan erat antara ayu dengan hantu. Ayu juga disebut hantu. Sukat. Dalam doa selalu dikatakan “sukat nang panyakng satingi diri’“ artinya sukat yang panjang setinggi kami sendiri. Pertama sukat menunjuk kepada satu bagian dari badan manusia, mulai dari atas kepala lewat otak ke sumsum belakang. Penyakit bisa disebabkan oleh kekurangan sukat. Bohol. Bohol bersifat anatomis yakni garis perut dari tulang dada ke pusat atau lebih khusus tempat dibawah tulang dada yang berdenyut. Kurang bohol atau bohol yang tidak lurus adalah sala satu sebab penyakit. “kakurangan sukat nang manyak, kakurangan bohol nang jarakng“ demikian dukun menyebutkan sebab penyakit pasiennya. Penyakit karena kekurangan bohol terutama dialami oleh anak kecil. Dari wanita yang sulit beranak dikatakan “mereng bohol anak “ artinya bohol anak bayi miring. Dukun baliatn pandai mencari bohol yang hilang. Leo Bangkule. Leo Bangkule berarti jantung, hati, paru-paru atau semua organ dalam perut manusia. Dalam doa, leo bangkule sering diundang kembali. Bersama dengan leo bangkule selalu dikatakan : tali nyawa atau tali danatn atau tali dane. Untuk manusia, tali nyawa berarti saluran pencernaan. Dan Nenet Sanjadi. Nenet Sanjadi disebut juga saluran pernafasan (tali sengat), permulaan dari tali mulai dari karukok (kerongkongan).

Tanda-tanda Alam (Rasi)
Dalam praktek kehidupan sosialnya, Orang Salako selalu memperhatikan tanda alam, yang dikenal dengan istilah ‘rasi’. Tanda ini dipahami sebagai “alam” (bhs. Dayak Salako: palangkahan) bagi manusia agar memilih waktu (jam, hari) yang tepat dalam melaksanakan kegiatan. Pemahaman ini dijelaskan dalam mitos Kulikng Langit, tokoh dalam mitos manusia mendapatkan palangkahan dari para rasi dengan Nek Baruang kulup.8 Kasus lain sebagai contoh yaitu sebuah mitos Maniamas yang melanggar suara rasi dari kijakng (kijang) – sebuah rasi keras, rasi orang mati berdarah.
“Ketika maniamas hendak menebang pohon besar diladangnya, tiba-tiba terdengar suara kijang dari semak disekitar rumahnya. Walaupun dia tahu rasi itu, ia tidak perduli dan tetap melanggarnya. Dia keluar dari rumah dan pergi ke ladang. Begitu dia selesai menebang pohon itu, di sebelahnya telah menanti musuhnya, Leo Baja, dari kampung Barangan, Leo Baja langsung melemparkan boekng (tombak)-nya ke arah maniamas, Maniamas Nyingkubokng (melompat) tiga kali melengakannya. Begiru Maniamas berdiri kembali ketanah, Leo Baja langsung menyerangnya dengan tangkitn (sejenis parang khusus untuk menganyau). Maniamaspun langsung menghunus tangkitnnya. Mereka saling memyerang, memotong, menebas. Keduanya sama-sama kuat. Tiba-tiba kaki Maniamas terikat oleh kayu dan terjatuh. Saat itu juga tangkitn Leo Baja menyambar batang lehernya. Darah menyucur dan kepala terlepas. Leo Baja puas. Dia pulang dengan menintng kepala Manianas. Bagaimana cara kamang pulang bakayo, begitu juga adat yang diikutinya. Ini akibat melanggar rasi keras, rasi orang mati berdarah.”

Selanjutnya, kesuburan semua mahluk dalam kosmos ini tidak luput dari campur tangan burung Tingkakok dan burung Bungkikik. Kedua burung Jubata ini dengan suaranya yang khas menimang agar semua mahluk hidup timbuh subur, berbuah, berkembang biak dan berketurunan. Manusia mendapatkan kebaikan dari kedua burung ini. Berkat timangan burung ini manusia dapat berketurunan, segala ternak di rumah, hewan disungai dan dihutan berkembang biak, dan tanaman padi dan pohon buah-buahan mengeluarkan buah yang lebat.

Siapakah Orang Kanayatn Itu ?
Berdasarkan temuan-temuan diatas, terutama mitologi, cirri kebudayaan dan rekonstruksi migrasi serta penyebarannya, jelas Orang Salako memiliki kesamaan dengan kelompok suku yang kini menamakan dirinya Orang Kanayatn. Muncul pertanyaan, siapakah Orang Kanayatn itu ?

Tahun 2008 ini adalah tahun ke lima puluh sembilan (59) sejak istilah Kanayatn/Kendayan/Kandayan ditulis pertama kali oleh Pastor Donatus Dunselman, OFM.Cap (1949), dalam laporannya yang berjudul, "Bijdrage tot de kennis van de taal en adat der Kendajan Dajaks van West-Borneo". Bernard Sellato (Sellato;1989a) menemukan tidak ada istilah Kanayatn sebagai salah satu kelompok etnik di Kalimantan.

Dari aspek mitologi religius, ada kesamaan praktek antara wilayah Kabupaten Sambas (sebelum pemekaran) dan Kabupaten Pontianak (sebelum pemerkaran). Misalnya cerita Nek Baruakng Kulup, kosakata dalam doa Nyangahatn dan tempat-tempat mistis seperti Bukit Bawakng, dll.

Dari penelusurannya, Takdir (dalam Takdir;2003;16) mengatakan bahwa istilah Kanayatn mungkin berasal dari bahasa Sanskerta/Kawi yakni: dari kata Kana + Yana atau Kana + Yani. Kana=Sana, Yana=Jalan atau Yani=Sungai. Hal ini dapat dilihat dari pola pemukiman dan penyebaran Orang Salako yang rata-rata diwilayah sebelah utara dari wilayah kelompok Austronesia (Prawiroadmojo;1981). Sebagaimana polanya, migrasi kelompok Austronesia dalam jumlah besar pertama kalinya memasuki muara sungai Salako (bhs.melayu;Selakau). Tidak jauh dari sungai ini, ada sebuah bukit yang namanya Bukit Sarinakng (bhs.melayu; Selindung). Sungai ini berasal dari Bukit Bawakng. Pada waktu itu, Bukit Sarinakng adalah kawasan pantai, karena ada proses alam kini telah jauh dari pantai.

Dalam pengertian lain, Kanayatn juga berasal dari kata Nganayatn (ucapan yang tidak tepat seperti penutur asli), biasanya dipopulerkan dalam ritual pengobatan (balenggang) (Krist.Atok;2006;16).

Namun, istilah “Kendayan” kemudian lebih populer di kalangan Orang Salako yang menuturkan bahasa Ba nana'-ahe dan varian sejenisnya yang bermukim di Kabupaten Landak, Pontianak, Sambas dan Bengkayang, sehingga penutur varian-varian bahasa tersebut disebut Dayak Kanayatn, padahal Dunselman sendiri dalam Cense dan Uhlenbeck (1958:15) menyebut orang-orang yang berbahasa Bakati' Rara sebagai "Old-Kendayan" atau Kendayan Tua (versi lokal Kanayatn).

Bukti lain mengenai hal ini adalah bahwa di Kabupaten Bengkayang, ditemukan beberapa Orang Bakati', yang secara kolektif menyebut dirinya Dayak Kanayatn atau Kanayat. Di Jaruk Param (salah satu kampong diwilayah Kecamatan Lembah Bawang sekarang), mereka mengenal sebuah wilayah (ancestral domain) Binua Kanayatn. Mereka berbahasa Bakati’. Akim, seorang wartawan dan penulis pernah menulis tentang Orang Bakati ini (lihat stefanusakim.wordpress.com). pada sisi ethnolinguistik, Bider (dalam David;2008) menjelaskan bahwa sentra Orang Bakati’ sebagian besar mendiami wilayah utara Kabupaten Sambas, di Kecamatan Pemangkat, Bengkayang, Ledo, Sanggau Ledo, dan Seluas. Menurutnya, dari segi etnolinguistik bahasa Bakati’ dapat dibagi dalam tiga aksen atau dialek besar, yaitu bahasa Bakati Riok, Bakati Sara, dan Bakati Lara. Dari segi populasi, penutur bahasa Bekati Lara lebih banyak dibanding yang lain. Sungguhpun demikian, dalam pergaulan dan berinteraksi di wilayah Banoe, mereka saling mengidentifikasi diri ats perbedaan akses masing-masing. Namun dalam berinteraksi dengan masyarakat luas mereka mengidentifikasi diri sebagai orang Bakati’ saja. Perbedaan dialek dan akses tidak menjadi suatu hambatan dalam interelasi dan komunitas di antara mereka.

Proses pelembagaan dan penyebarluasan istilah Kanayatn dimulai ketika dilangsungkannya MUSYAWARAH ADAT se-Kecamatan Sengah Temila pada tanggal 23-24 Mei 1978 di Pahauman yang menetapkan motto:”Adil Ka Talino, Ba Curamin Ka Saruga, Ba Sengat Ka Jubata” dan ditindaklanjuti di tingkat kabupaten pada tanggal 23-25 Maret 1985 di Gedung SMP Negeri Anjungan. Hasil penting Musyawarah Adat II ini adalah mengesahkan pembentukan wadah adat ditingkat kabupaten yang diberi nama “ DEWAN ADAT DAYAK KANAYATN KABUPATEN PONTIANAK”. Organisasi ini berkedudukan di Mempawah ibukota Kabupaten Pontianak (Kay;2006;9).

Pasca musdat iu, Kanayatn, semakin dipopulerkan oleh berbagai kalangan. Misalnya munculnya tulisan mengenai Dayak Kanayatn di Buletin Mimbar Untan; sejak tanggal 1 April 1992. Ada juga siaran radio berbahasa Dayak Kanayatn di RRI Pontianak, secara khusus bahasa Banana'. Peran siaran radio ini sangat besar dalam mensosialisasikan identitas baru ini. Majalah Kalimantan Review No. 07, April-Juni 1994, menyoroti dua jenis pesta padi orang Dayak Kanayatn yaitu melalui peliputan Naik Dango dan Maka' Dio. Apa yang disoroti oleh KR pada waktu itu adalah dua jenis upacara adat pesta padi pada suku Bakati', dan Banana' dan varian sejenisnya, yang sama-sama menyebut diri mereka sebagai Dayak Kanayatn, walaupun secara linguistik mereka menuturkan dua bahasa dengan adat istiadat yang berbeda.

Sejak tahun 1980-an, istilah Kanayatn (berubah menjadi Kendayan) juga diambil dan disebarluaskan di kalangan Akademis Universitas Tanjungpura Pontianak antara lain oleh Donatus Lansau, Yoseph Thomas Lay dan Yohanes Yan Pius, dkk. Yang menerbitkan buku Struktur Bahasa Kendayan (1981), morfologi dan Sintaksis Bahasa Kendayan (1984), dan Morfologi Kata Kerja Bahasa Kendayan (1985) dari Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia. Ironisnya, sebagai peneliti namun tidak pernah menyatakan kembali nama Kanayatn sebagai suku Dayak yang berbahasa baahe/banana’/badameo/bajare. Selanjutnya nama itu dipakai lagi sebagai nama suku Dayak yang berdialek baahe/banana’ dalam upacara Naik Dango pertama kali di Pahauman. Kini nama Kanayatn telah populer sebagai nama suku Dayak yang berdialek baahe/banana’ (dimanapun mereka berada), namun mereka yang berdialek dameo/jare tidak menerima itu dan tetap menyebut diri mereka suku Dayak Salako, dan Kanayatn adalah nama mereka yang berbahasa bakati’, banyadu’ dan isolek lainnya. Lebih lanjut, artikel yang ditulis oleh Julipin dan Niko Andas (1997) juga mulai menyoroti identitas baru ini. Mereka menyatakan:
“….. menurut beberapa sumber,pada tahun 1984 orang-orang yang berdialek Bakati’ dan Banyadu’ yang sekolah di Nyarungkop masih disebut Orang Kanayatn oleh orang-orang dari Samalantan dan Pahauman. Menurut orang Dayak Bukit Talaga, Orang Kanayatn itu adalah orang-orang yang tidak fasih berbicara dialek ahe/banana’. Mereka misalnya tidak mampu mengucapkan kata-kata yang berakhiran dengan: -utn, -ant, -ikng, - ukng, -ekng, secara baik dan benar. Dan yang tidak pasih berbahasa ahe/banana’ itu adalah orang-orang Dayak (Kanayatn) yang berdialek mpape, banyadu’, dan balangin.

Pemberian nama Kanayatn (dalam bhs. Melayu: kandayan/kendayan) dalam organisasi Dewan Adat yang baru terbentuk ini barangkali berpatokan dari buku karya Pastor Donatus Dunselman OFM. Cap diatas.


PENUTUP
Bagaimanapun, identitas Kanayatn, masih teka-teki hingga hari ini. Berbeda dengan saudara-saudaranya di kawasan timur-selatan Kalimantan Barat, dikawasan utara-barat, identitas Dayak masih dalam tahap pergumulan (meminjam istilah Atok;2007;9). Atok, dalam bukunya Dayak Kanayatn Menggugat (2002) mengatakan, banyaknya sebutan dan beragamnya pengklasifikasian orang Dayak di kawasan utara Kalbar merupakan indikator bahwa orang Dayak Kanayatn masih berada dalam pergumulan identitas. Demikian pula halnya dengan Simon Takdir, dalam makalahnya “Suku Dayak Salako”, ia tetap berpendirian bahwa Orang Kanayatn adalah kelompok etnik yang tidak fasih berbahasa ahe,janya, damea, jare.

Atas berbagai pergumulan ini, menurut saya, sebutan atas identitas (Orang Kanayatn) yang ada sekarang belumlah berbentuk final. Contoh paling nyata adalah kelompok suku ini masih menyebut dirinya berbeda-beda ; misalnya Dayak Bukit di daerah Talaga-Sengah Temila, Dayak Salako di Kec Mempawah Hulu, dan di Kab Sambas dan Bengkayang, Dayak Mampawah di DAS Mempawah, Dayak Menyuke di DAS Menyuke, dll. Mereka umumnya tidak terima disebut Dayak Kanayatn, walaupun dasar argumentasinya kuat. Mengapa mereka terkesan diam ? Ini mungkin salah satu bukti bahwa dalam kehidupan sehari-harinya orang Dayak itu menghindari konflik (tidak mau berkelahi).
“….mereka percaya bahwa “waktu” lah yang kelak akan membantunya mengatakan siapa diri mereka sesungguhnya. Belum lagi yang telah berpindah agama. Orang Dayak yang memeluk Islam menyebut diri mereka Melayu, padahal kakek-nenek mereka yang Dayak masih hidup”.
Bila ditinjau dari pola migrasi dan penyebaran bahasa, saya berkesimpulan bahwa kelompok suku yang berdialek ba nana, ba ahe, ba jare, ba damea sebagai Orang Salako dan menggolongkan kelompok suku yang berdialek ba kati’, ba nyadu’, baiyam dan isolek lainnya sebagai Orang Kanayatn. Untuk sebuah peradaban, saya menyarankan agar nama Kanayatn itu dikembalikan kepada yang berhak, yaitu meraka yang berdialek bakati’, banyadu’, bainyam.

Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Sosial Universitas Tanjungpura Pontianak, Program Studi Ilmu Politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar